Gara-Gara Tai Burung, Negara Kaya Ini Jatuh Miskin
Salah satu sudut toko di Distrik Denig, Negara Nauru--
RADARUTARA.ID - Di barat daya Samudera Pacifik, ada sebuah negara kaya. Dengan luasnya yang hanya 21 kilometer persegi, negara ini memiliki penduduk yang sejahtera. Saking kecilnya, negara ini bahkan tidak memiliki Ibukota. Ya, negara ini bernama Nauru. Jika di peta, Anda bisa membayangkan, negara ini terletak di pojok atas Papua Nugini.
Dahulu, negara dengan penduduk 10 ribu orang ini menyandang predikat sebagai negara terkaya di dunia. Pasalnya, negara ini memiliki pendapatan perkapita tertinggi di dunia, yang mencapai US$27 ribu per tahun. Atau jika dikurskan dengan rupiah saat ini, sekitar Rp422 juta. Jadi, setiap tahun, setiap orang di negara ini kala itu mendapatkan uang Rp422 juta per tahun.
Hal ini tentu jauh dari pendapatan perkapita Amerika Serikat, yang di tahun 1980 hanya US$12 ribu
Sayang sekali, negara Nauru kemudian jatuh miskin dan terlilit hutang karena kehabisan kotoran atau tai burung.
Sebelum menjadi negara merdeka pada 13 Januari 1968, Pulau Nauru adalah sebuah wilayah dengan keindahan alam yang menawan. Kekayaan alam dari negara ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Sehingga, Pulau ini menjadi tempat singgah bagi burung-burung yang bermigrasi antar benua.
Ribuan bahkan jutaan burung-burung yang singgah saat bermigrasi ini tentu saja membuang kotoranya di pulau ini. Kemudian, secara alami, kotoran-kotoran burung ini berubah menjadi kerak guano sebagai bahan baku fosfat (phosphate) yang bernilai ekonomi tinggi.
Ketika Nauru meraih kemerdekaannya di tahun 1968, ada sekitar 60 hingga 70 juta ton cadangan fosfat di pulau ini. Sejak saat itulah, rakyat di negara ini benar-benar menikmati kekayaan alamnya.
Hal ini dilakukan dengan bekerja di tambang-tambang fosfat dan menikmati segala kemewahan yang didapat dari penambangan ini.
Bukan hanya uang yang melimpah, pemerintah negara ini juga membebaskan pajak dan memberikan subsidi perumahan bagi rakyatnya secara besar. Pelayanan publik di negara ini juga gratis. Mulai dari rumah sakit, sekolah, listrik, angkutan umum, dan berbagai layanan publik lainnya.
Tak hanya itu, banyak pemuda Nauru yang dikirim untuk sekolah di berbagai universitas terkenal di Australia. Tentu saja, hal ini dibiayai secara penuh oleh pemerintah Nauru.
Yang paling mencengangkan, untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga, penduduk negara ini akan terbang ke Australia atau ke Singapura dengan menggunakan pesawat. Tiketnya, sudah ditanggung oleh negara.
Pada tahun 1976, produksi fosfat di negara ini mencapai 2 juta ton per tahun. Harganya, 60 juta dollar Australia per ton. Artinya, di tahun 1976, pendapatan negara ini dari penjualan fosfat mencapai US$120 juta.
Selama hampir 10 tahun, mulai dari 1974 hingga 1984, hampir semua kemewahan adalah milik rakyat Nauru. Setiap rumah warganya berisi barang-barang bernilai tinggi. Tak hanya itu, pantai di negara ini dipenuhi dengan perahu-perahu pribadi milik warga negara ini.
Kemewahan ini membuat rakyat negara Nauru lupa akan pengelolaan keuangan. Hingga akhirnya di tahun 1986, pemerintah Nauru dan rakyatnya mulai sadar bahwa cadangan fosfatnya mulai berkurang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: