Pendapat Ulama Tentang Syarat, Rukun Nikah dan Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974

Rabu 04-01-2023,19:39 WIB
Reporter : Reka Desrina

RADARUTARA.ID - Nikah adalah asas hidup yang paling utama dalam pergaulan atau embrio bangunan masyarakat yang sempurna.

Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan interelasi antara satu kaum dengan yang lainnya.

Untuk melaksanakan pernikahan yang sesuai dengan syariat agama, maka terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus terpenuhi.

1) Pendapat Ulama

a. Para Wali

Para ulama berbeda pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Malik berpendapat bahwa nikah tidak sah kecuali dengan wali dan itu merupakan syarat sahnya.

Abu Hanifah, Zufar, Sya’bi, dan Az-Zuhri mengatakan bahwa jika seorang wanita melakukan akad nikah tanpa walinya, sedangkan calon suaminya setara dengannya, maka dibolehkan.

Sedangkan menurut Daud, beliau membedakan antara gadis dan janda, disyaratkan adanya wali pada gadis dan tidak disyaratkan adanya wali pada janda.

Berdasarkan riwayat Ibn Al Qasim dari Malik tentang perwalian, bahwa disyaratkannya wali dalam nikah adalah sunah bukan wajib. 

Sebab perbedaan pendapat ini karena tidak adanya ayat dan hadis yang dengan jelas mensyaratkan wali dalam pernikahan, lebih-lebih jika dalam hal itu terdapat nash. 

b. Saksi

Abu Hanifah, Syafi’i, dan Malik sepakat bahwa saksi termasuk syarat nikah. Dan mereka berpendapat apakah itu termasuk syarat kesempurnaan yang hal itu diperintahkan ketika hendak menggauli istri atau syarat sah yang diperintahkan ketika melakukan akad nikah.

Berkenaan dengan masalah keadilan bagi seorang saksi, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak harus orang yang adil. Sedangkan golongan Syafi’i dan Hambali, mereka mensyaratkan bahwa saksi itu harus orang yang adil.

c. Shighat

Menurut golongan Syafi’i dan Hambali, akad nikah harus menggunakan lafal yang menunjukkan nikah secara jelas, tidak kiasan, yaitu menggunakan kata nikah atau zawaj.

Kategori :