Namun sayangnya, pada abad ke-20, orang-orang kulit putih Eropa di Tanah Air semakin ingin menunjukkan keunggulan rasnya sehingga bukan lagi mempercayakan para babu ini untuk mengurus atau bahkan menyuapi anak-anak mereka. Tugas ini lalu diberikan kepada pengasuh anak yang didatangkan langsung dari negara Eropa.
Sejak saat itu, peran babu kemudian bergeser menjadi pembantu rumah tangga. Bahkan, status mereka juga dianggap sangat rendah, persis seperti para jongos yang diperbudak.
Lantaran hal ini, istilah babu dan jongos juga dianggap kasar dan rendah. Hingga akhirnya kesan ini juga bertahan sampai sekarang, bahkan sudah puluhan tahun setelah Indonesia merdeka.*