Pentingnya Partisipasi Perempuan dalam Pembuatan Kebijakan, Perspektif Gender dalam Parlemen

Pentingnya Partisipasi Perempuan dalam Pembuatan Kebijakan, Perspektif Gender dalam Parlemen

Panel Diskusi tentang pemberdayaan perempuan dalam ruang politik--

RADARUTARA.ID - Masalah minimnya partisipasi politik dan isu gender di ruang politik masih menjadi perhatian serius di Indonesia. Pada Pemilu 2019, perwakilan perempuan dalam politik hanya mencapai sekitar 21% dari total jumlah kursi yang tersedia. Meskipun terdapat peningkatan dibandingkan Pemilu 2014 yang hanya mencapai 17%, angka tersebut masih jauh dari mencerminkan kesetaraan gender yang diinginkan.

Faktor-faktor yang mungkin menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam politik termasuk adanya stereotip gender, norma sosial yang membatasi peran perempuan di ruang politik, dan hambatan-hambatan struktural lainnya. Peningkatan kesadaran mengenai isu gender dan peran perempuan dalam pembuatan keputusan politik menjadi kunci untuk mengatasi kendala-kendala tersebut.

Itu adalah inisiatif yang sangat positif dari Bincang Perempuan Circle untuk mengadakan panel diskusi Her Voice 2024 tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam politik. Dukungan dari Campaign dan Yayasan Indonesia Baik menunjukkan komitmen terhadap pemberdayaan perempuan dalam ruang politik.

Diskusi panel ini  diikuti pembicara yang berpengalaman di berbagai bidang terkait. Siti Aminah Tardi, selaku komisioner Komnas Perempuan, memberikan perspektif penting dari lembaga yang fokus pada hak dan kesejahteraan perempuan. Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera membawa wawasan hukum yang mendalam terkait isu-isu gender dan politik.

Yosifebi Ramadhani dari Think Policy & Bijak Memilih serta Nanda Dwinta Sari dari Yayasan Kesehatan Perempuan kemungkinan memberikan pandangan yang kaya dan beragam mengenai langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.

Keterlibatan Perempuan dalam Pemilu dan Parlemen kian Dipersulit

Minimnya keterlibatan perempuan di dalam parlemen seharusnya menjadi pukulan keras bagi pemerintah Indonesia. Mengapa demikian? Secara sederhana, parlemen adalah cermin dari representasi masyarakat. Oleh karena itu, rendahnya kehadiran perempuan dalam parlemen mencerminkan bahwa kesetaraan gender masih jauh dari terpenuhi.

"Sebenarnya ini (minimnya keterlibatan perempuan) sangat disayangkan. Parlemen itu adalah representasi dari masyarakat dan mematikan kalau regulasi di masyarakat itu tidak memenuhi apa yang dibutuhkan," ujar Yosi beberapa waktu lalu.

"Untuk itu, dibutuhkan perspektif (perempuan) tersebut dan harus diperjuangkan," tambahnya.

Yosifebi mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan dalam pemilu dan parlemen memiliki dampak besar pada kesetaraan gender. Ini penting agar isu-isu kesetaraan gender dan masalah yang dihadapi oleh perempuan dapat mendapat prioritas ke depannya.

Ironisnya, ia menemukan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik masih diabaikan oleh partai politik, KPU, dan pemerintahan. Selain kuota yang tak terpenuhi, ia menemukan bahwa banyak partai politik masih menghambat keikutsertaan perempuan.

Sementara itu, Bavitri berpendapat bahwa keterlibatan perempuan seharusnya tidak hanya dilihat dari segi jumlah, melainkan dari pemahaman yang mendalam dari mereka yang terlibat.

“Nyatanya, harus ada keterwakilan yang bersifat substansial. Di mana semua orang memiliki perspektif gender terhadap kebijakan yang harus dipengaruhi untuk menciptakan keadilan gender dan secara aktif melindungi perempuan dari kekerasan," ungkap Bavitri dalam diskusi panel tersebut.

Kondisi ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa partai politik menganggap affirmative action sebagai beban. Hal ini karena partai politik ingin menetapkan standar kualitas bagi perempuan yang ingin terlibat dalam politik, yang ironisnya, tidak diterapkan pada laki-laki yang ingin ikut serta dalam politik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: