Awalnya dia sempat kaget. Dia tidak mengira. Karena jarak antara mendaftar dan berangkat cukup pendek. Hanya enam tahun. Padahal, di daerah lain bisa puluhan tahun.
"Saya baru dapat panggilan setelah lebaran lalu," katanya.
Dalam waktu singkat, dia pun harus menyelesaikan semua yang diperlukan. Termasuk pelunasan. Tak hanya itu, dia juga harus mengajukan izin untuk cuti di tempatnya bekerja, di sebuah yayasan di Malaysia.
"Alhamdulillah. Ternyata saya diizinkan untuk cuti panjang. Sekitar empat bulan," ujarnya.
Sesuai dengan niatnya, Sukanti benar-benar berusaha mendampingi sang ayah. Sejak awal keberangkatan dari tanah air hingga tiba di Madinah, dia tidak pernah meninggalkan Suroso. Kecuali pada momen-momen tertentu yang mengharuskan.
Begitu besarnya ikhtiar sang putri membuat Suroso begitu terharu. Dia pun tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya.
"Alhamdulillah. Kulo bungah sampun saget ten mriki (saya bahagia bisa berada di sini, Red)," kata Suroso.
Bagi Suroso, saat ini memang sudah tidak ada lagi yang diinginkannya. Selain datang ke tanah suci. Melaksanakan ibadah haji. "Kulo niki sampun mboten ketingal nopo-nopo. Cuma pingin mriki (saya ini sudah tak bisa melihat apa-apa. Hanya ingin melihat ke sini/menjalankan ibadah haji, Red),” kata pria berwajah teduh ini.
Bagi Suroso, Sukanti merupakan berkah luar biasa yang diberikan Tuhan kepadanya. Sebab, di tengah segala keterbatasan yang dialaminya, anak sulungnya itu memiliki perhatian begitu besar terhadap keluarga. Tak hanya kepada diri maupun istrinya, Mardiyah, tapi juga kepada empat adiknya.
Suroso sendiri sudah mengalami gangguan penglihatan sejak kecil. Dia berkisah, awalnya dia mengalami katarak. Segala ikhtiar dilakukan orang tuanya.
Namun tak kunjung sembuh. Hingga akhirnya dia tak bisa melihat.
Karena kondisi itu pula, awalnya dia sempat tidak mau berumahtangga. Namun, karena dorongan orang tua, Suroso akhirnya bersedia menikah. Dan memiliki lima anak.
Berbekal sebidang tanah dari orang tuanya yang dipakai untuk rumah tinggal dan menggarap sawah bersama sang istri, kakek bercambang tipis itu menjalani hidup bersama keluarganya.
”Nek soal rejeki, Gusti Allah ingkang panggih. Ndilalah kok kulo saget nafkahi tiyang setri kalian yugo (Kalau soal rejeki, saya serahkan Allah yang maha mengetahui. Dan syukur saya bisa membantu menafkahi istri anak, Red),” kata Suroso yang menjalankan usaha tani.
Namun, keterbatasan yang Suroso, membuat Sukanti meninggalkan rumah. Karena keinginannya untuk bisa bersekolah, dia memutuskan untuk tinggal di sebuah panti asuhan di Wonosobo. Sejak SD hingga SMA.
Setelah itu, takdir Allah mengantarkannya ke negeri jiran, Malaysia, bekerja di sebuah Yayasan. Sukanti pun menjadi tulang punggung keluarga. Tak hanya membantu kedua orang tua, tapi juga adik-adiknya. Selain itu, dia juga menguliahkan putrinya.