Sejarah dan Makna Malam 1 Suro bagi Masyarakat Jawa

Sejarah dan Makna Malam 1 Suro bagi Masyarakat Jawa

Sejarah dan Makna Malam 1 Suro bagi Masyarakat Jawa--

RADARUTARA.ID- Tradisi malam satu Suro adalah perayaan awal bulan Sura yang merupakan awal tahun baru berdasarkan kalender Jawa. Perayaan malam satu Suro ini dijadikan sebagai tradisi yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Jawa yang juga bertepatan dengan Tahun Baru Islam.

Berdasarkan situs Dinas Kebudayaan Kota Surakarta, bulan Suro dianggap buan yabg sakral menurut masyarakat suku Jawa. Ada banyak acara yang diselenggarakan masyarakat Jawa dari berbagai daerah dengan kegiatan serta makna yang berbeda-beda untuk merayakan malam satu Suro.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah malam satu Suro, simak penjelasan sejarahnya berikut ini:

Awalnya perayaan malam satu Suro konon bertujuan untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa saja. Namun pasa tahun 931 Hijriah atau 1443 tahun Jawa baru, yakni ketika zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriah (Islam) dengan sistem kalender Jawa di masa itu.

BACA JUGA:Kapan Malam 1 Suro 2024? Ini Jawabannya

Sedangjan berdasarkan catatan sejarah lainnya, penetapan satu Suro merupakan awal tahun baru Jawa yang dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Saat 1633 Masehi atau 1555 tahun Jawa, Sultan Agung menetapkan Tahun Jawa atau tahun Baru Saka diberlakukan di bumi Mataram serta menetapkan 1 Suro sebagai tanda awal tahun baru Jawa.

Ketika itu, masyarakat umum mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu, sementara Kesultanan Mataram Islam telah memakai sistem kalender Hijriah. Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran agama Islam di Tanah Jawa berinisiatif menggabungkan kalender Saka dan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.

Hal itu dengan maksud bahwa Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya. Selain untuk menghancurkan Belanda di Batavia, hal tersebut juga bertujuan untuk menyatukan Pulau Jawa. Itu sebabnya, Sultan Agung tidak ingin rakyatnya terpecah belah lantaran adanya perbedaan keyakinan agama.

BACA JUGA:Presiden Jokowi Resmi Teken UU KIA, Perlakuan Khusus Ini Akan Diberikan kepada Ibu Melahirkan

Penyatuan kalender tersebut pun akhirnya dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil akhir tahun 1555 Saka atau tepatnya 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro yang bertepatan juga dengan tanggal 1 Muharram berdasarkan kalender Hijriah.

Tak hanya itu, Sultan Agung Hanyokrokusumo juga ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Itu sebabnya, pada setiap hari Jumat Legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sembari dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan pula ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.

Dengan begitu, tanggal 1 Muharram atau 1 Suro Jawa yang dimulai pada hari Jumat Legi juga ikut dikeramatkan. Bahkan dianggap sial jika ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan untuk mengaji, ziarah, dan haul.*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: