Idu Idu Maninina, Kami Ingin Damai, Damai, Damai

Idu Idu Maninina, Kami Ingin Damai, Damai, Damai

Masjid dan Gereja di Fakfak berdampingan, toleransi beragama di Fakfak sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu.-Arif L Hakim-kompasiana.com/ariflukman

RADARUTARA.ID - Toleransi beragama bagi masyarakat Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat bukanlah hal baru. Di sini, dalam satu rumah terdapat tiga agama berbeda adalah hal biasa. Mereka menyebutnya 'Agama Keluarga'. Ada Islam, Kristen Protestan dan Katolik. Hal ini kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Kabupaten Fakfak dalam sebuah slogan 'Satu Tungku Tiga Batu'.

Seperti halnya dikisahkan, Eni Kapaur yang berada di Desa Merapi, Kabupaten Fakfak, pada saat bulan ramadan, secara bersama-sama selama 3 hari awal ramadan, seluruh kakak dan adiknya yang berbeda agama akan berkumpul di rumah tua untuk menemaninya berbuka puasa.

Eni Kapaur yang beragama Islam bersama kakak-kakak sepupunya yang beragama Kristen Protestan dan Katolik menyiapkan masakan untuk mereka berbuka puasa bersama.

"Di rumah tua ini tempat semua keluarga berkumpul. Semua saudara, Kristen Protestan, Katolik semua pulang ke rumah tua, ada yang membawa ubi, bawa cabai, keladi kita masak bersama-sama untuk berbuka puasa bersama," ungkapnya.

Dikutip dari BBC, Eni mengaku selalu terharu ketika ramadan datang, sebab seluruh keluarganya berkumpul tanpa terpengaruh apapun agama. Bahkan pada saat Idul Fitri pun demikian, seluruh keluarganya kembali berkumpul untuk merayakan Idul Fitri secara bersama-sama.

"Jadi saya tidak sendiri. Selalu ada mereka, saat berpuasa dan saat Idul Fitri. Saya berbicara ini bukan mengada-ada. Ini sudah menjadi kehidupan keseharian kami. Sudah biasa," lanjutnya.

Menurutnya, toleransi beragama bukanlah hal yang istimewa. Kebiasaan ini sudah diturunkan oleh leluhur mereka sejak ratusan tahun lalu.

"Ini bukanlah hal baru bagi semua orang Fakfak dan toleransi itu sudah mendarah daging," ujarnya.

Masuknya Islam ke Fakfak sudah sejak abad ke-16 melalui jalur perdagangan dan perkawinan. Hal ini tak luput dari keberadaan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore yang beragama Islam yang jaraknya dekat dengan Fakfak.

Pada saat Kristen Protestan dan Katolik datang pada penghujung abad ke-19, mereka menerima hal ini dengan damai dan tidak menjadikannya sebagai alasan untuk melakukan peperangan.

Ini menunjukkan, bahwa toleransi masyarakat Fakfak tidak dilandasi oleh agama yang masuk. Namun lantaran sumpah para leluhur yang ingin mengakhiri perang antar suku sejak dahulu kala.

Para leluhur masyarakat Fakfak bersumpah untuk hidup damai dalam semboyan 'Idu Idu Maninina' yang artinya "Kami Ingin Damai, Damai, Damai"

Seorang antropolog, Ronald Helwedery mengatakan, para leluhur masyarakat Fakfak menyadari betul bahwa pertikaian tidak akan membawa kesejahteraan.

"Mereka ingin hidup damai. Jadi sejarah panjang itu mengajarkan pada mereka, tidak guna jika hidup selalu dalam pertikaian dan kekerasan, hidup dalam kecurigaan, hidup dalam perang dan tak guna hidup jika masih ingin saling menaklukkan," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: