The 12th BWCF 2023, Ganesa, Seni Pertunjukan, dan Repartriasi Benda-benda Purbakala Indonesia

The 12th BWCF 2023, Ganesa, Seni Pertunjukan, dan Repartriasi Benda-benda Purbakala Indonesia

The 12th BWCF 2023--

 Bu Edi juga dikenal sangat expert dalam dunia tari, baik dari kajian relief maupun kajian dunia seni pertunjukan Indonesia. Pada tahun 1981, Penerbit Sinar Harapan menerbitkan kumpulan tulisan tari Edi Sedyawati dalam buku bertajuk Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Sinar Harapan, 1981). Dalam buku itu, Bu Edi membahas jalan perkembangan tari Indonesia sampai kajian arkeologi tari yang menganalisa relief-relief percandian kita yang memiliki visual adegan tari. Bu Edi misalnya sangat cemerlang membedah relief tari Prambanan maupun Borobudur. Dengan ketelitian akademis tinggi, ia membandingan sikap dasar berdiri, motif-motif gerak tungkai kaki, motif-motif gerak tangan adegan-adegan tari yang ada di relief kedua candi dengan pose-pose tari baku yang ada di dalam buku klasik standart Natya Sastra dari India. Sangat langka sekali arkeolog yang mampu membedah gerak tari di relief demikian detail sebagaimana Edi Sedyawati. 

Pokok bahasan Bu Edi untuk memahami sejarah seni Indonesia terentang panjang mulai studi sejarah musik, tari dan teater, problem-problem tari kontemporer yang berbasis tradisi sampai “bilingualism” teater tradisi kita. Bu Edi, memang juga dikenal seorang kritikus tari. Bu Edi sangat aktif menulis baik di Majalah Tempo, Harian Kompas maupun The Jakarta Post, baik dalam bentuk resensi-resensi pertunjukan tari tradisi maupun kontemporer Indonesia. Ia misalnya pernah mereview pentas koreografer Gusmiati Suid (almarhum) sampai pentas koreografer Amerika terkemuka Paul Taylor. Maka dari itulah sebuah sesi di 4ocumente nanti akan dipersembahkan untuk membahas  kontribusi Edi Sedyawati yang besar dalam mengarungi dunia tari Indonesia. 

Sebagaimana dikatakan di atas, di samping sebagai akademisi yang sangat produktif menulis arkeologi dan mengembangkan kritik tari, Edi Sedyawati adalah birokrat kebudayaan yang berhasil. Di zaman Bu Edi aktif menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan, dia banyak mengadakan festival-festival seni di dalam negeri, progam-progam diplomasi kebudayaan serta misi-misi kesenian  ke luar negri, mengagas tata seni dari pusat sampai daerah hingga aktif memberi kata sambutan pada acara-acara kebudayaan mulai dari sambutan pameran sampai sambutan pembukaan kongres-kongres. Sedemikian banyaknya kata sambutan yang diberikan Bu Edi sampai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pernah menerbitkan buku Kumpulan Sambutan Prof. Dr. Edi Sedyawati sebagai Direktur Jendral Kebudayaan tahun 1999.  

Saat menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan, beliau juga sangat mendukung progam ITASA (Indonesian Technical Assistance for Safeguarding Angkor) yang mengirim para arkeolog Indonesia ke Kamboja untuk memugar empat gerbang situs Royal Palace Kawasan Angkor Watt. BWCF pernah mengunjungi empat gerbang Royal Palace, Angkor dan melihat sampai kini pondok bekas tempat bekerja sehari-hari arkeolog Indonesia tidak dirubuhkan. Bu Edi juga pernah menginisiasi progam Art Summit yang secara fenomenal mendatangkan berbagai tokoh seni dunia seperti pelopor Butoh dan Kazuo Ohno ke Jakarta.

Berkaitan dengan diplomasi kebudayaan Indonesia ini, tentu bila Bu Edi masih hidup sekarang beliau urun rembug tentang pengembalian arca-arca Singosari dari Leiden termasuk arca Ganesa yang pernah ditelitinya. Tema pemulangan artefak-artefak kita yang berada di Eropa atau Amerika ini penting. Karena ini menyangkut segala hal mulai dari kemampuan pemerintah berdiskusi dengan pihak museum-museum luar sampai kesiapan museum-museum kita sendiri menyimpan dan merawat serta mengekhibisikan artefak-artefak publik secara menarik. Terbakarnya bagian belakang Museum Nasional beberapa waktu lalu sedikit memancing diskusi mengenai kesiapan Indonesia menerima dan memelihara pengembalian artefak-artefak tersebut. Ada banyak artefak yang belum dikembalikan seperti arca Bhairawa Singosari di Leiden dan juga tengkorak kepala Pithecan Trophus Erectus temuan arkeolog Eugene Dubois yang kini disimpan di Musum Naturel Belanda, serta prasasti Pucangan dari zaman Erlangga yang kini dikoleksi Museum Kalkuta India, dan Prasasti Minto di Skotlandia. Semua itu akan didiskusikan di BWCF 

Melengkapi acara inti merayakan pemikiran Edi Sedyawati, sebagaimana kegiatan BWCF selama 11 tahun ini maka akan diadakan acara-acara pendamping dari mulai ceramah-ceramah arkeologi dan seni, pemutaran film yang berkaitan dengan arkeologi, tari  sampai pertunjukan seni dan sastra. 

Kami merencanakan akan menampilkan pre-opening di tanggal 23 November 2023 pada siang hari di Gedung Heritage KPPN Malang (jadwal acara terlampir) berupa pemutaran film terbaru sutradara terkenal Nia Dinata berjudul Unearthing Muara Jambi. Film ini akan menyajikan subyek situs arkeologi Buddhis terbesar Muara Jambi. Sementara pada Opening yang akan berlangsung, pada tanggal 23 November 2023 pukul 7 malam di Universitas Negri Malang akan ditampikan acara inti: Pidato Kebudayaan Prof. Dr. Arlo Griffiths mengenai Prasasti Minto yang sekarang ada di Skotlandia.  

Di festival ini akan menghadirkan bazar buku dari puluhan penerbit yang menampilkan buku-buku sejarah, Buddha-Hindu dan humaniora. Kami juga akan mendiskusikan buku-buku arkeologi terbaru, menyajikan progam meditasi, mengundang para novelis seperti Leila S. Chudori, mengundang puluhan penyair muda, mengadakan  malam pertunjukan tari kontemporer yang berbasis tradisi, pemutaran film tari, workshop tari, dan pertunjukan musik.

Pada pertunjukan tari, kami akan menghadirkan pertunjukan tari Kecak Teges yang dibawakan oleh I Ketut Rina bersama puluhan warga Desa Teges , Peliatan Ubud, Gianyar, Bali. Cak Rina awalnya diciptakan oleh Sardono W. Kusumo. Pada tahun 1971, ia mengajak para petani Desa Teges Bali untuk membuat sebuah Cak eksprimental  yang format koreografinya tidak seperti cak baku yang dibuat oleh Walter Spies. Saat ini, Ketut Rina masih anak-anak. Dan ia anggota terkecil. Sekarang Kecak Teges ini dilanjutkan oleh Ketut Rina.    

Pada malam sastra, BWCF akan menyajikan pembacaan sajak oleh Sutardji Calzoum Bachri, penyair legendaris yang kini usianya 80-an. Sutardji akan didampingi oleh Afrizal Malna, Jose Rizal Manoa, dan penyair Malang bernama Tengsoe Tjahyono. Sebagai penutup seluruh rangkaian mata acara pada tanggal 27 November 2023, pada sore hari akan ditampilkan  Pidato Kebudayaan penutupan dari Prof. Dr. Cecep Eka Permana yang akan mambawakan pidato berjudul Membaca Ulang Seni Indonesia Purba: Gambar Cadas di Goa-Goa Maros Sulawesi dan Sangkulirang Kalimantan. Pada malam harinya, disajikan pertunjukan musik oleh kelompok Lordjhu dan Nova Ruth. Kedua komunitas band tersebut merupakan band pop eksprimental yang  sangat mengolah unsur-unsur  tradisi.

Seluruh acara akan dilaksanakan selama 5 hari di kampus Universitas Negri Malang. Adapun alasan mengapa lokasi BWCF tahun ini dilaksanakan di Malang. Pertama, mengingat disertasi Bu Edi Sedyawati berkenaan dengan arca-arca Ganesha yang ditemukan dari sekitar Malang, Kediri, dan Singosari. Kedua, dengan diadakannya BWCF 2023 di Malang,  tribute dan penghormatan terhadap almarhum Prof. Dr. Edi Sedyawati menjadi sangat kontekstual.*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: