Negara dengan Suhu Panas Tinggi, Bikin Kepala Mendidih dan Kulit Melepuh

Negara dengan Suhu Panas Tinggi, Bikin Kepala Mendidih dan Kulit Melepuh

Negara dengan Suhu Panas Tinggi, Bikin Kepala Mendidih--

RADARUTARA.ID- Gelombang panas yang terjadi dari beberapa bulan lalu memang menjadi keluhan banyak pihak, hanya saja dalam minggu-minggu terakhir ini diperkirakan ada peningkatan suhu panas tinggi.

Bahkan beberapa situs mengatakan gelombang panas tinggi ini semakin mengkhawatirkan, karena hampir tersebar di seluruh negara dan memberikan dampak yang tidak sedikit, bahkan terdapat banyak kasus kematian karena gelombang panas ini.

Penelitian yang dipublikasikan di Nature menyebutkan wilayah yang akan memiliki dampak merusak karena gelombang panas seperti Afghanistan, Papua Nugini dan Amerika Tengah. Area lainnya adalah Beijing dan Eropa yang tengah yang disebut juga memiliki risiko besar. 

BACA JUGA:5 Tempat Terpanas di Dunia, Bisakah Manusia Tinggal Disana?

Kedua area terakhir disebut memiliki populasi yang besar dan menempatkan banyak orang dalam risiko, dikutip dari Science Alert, Selasa (2/5/2023).

 

Para peneliti menghitung dari negara mana yang akan terjadi gelombang panas serta faktor lainnya. Ini termasuk sosial-ekonomi, pertumbuhan populasi, stabilitas jaringan energi dana ketersediaan layanan kesehatan.

Tim peneliti ingin ada persiapan menghadapi gelombang panas di masa depan. "Seringkali daerah hanya siap menghadapi kejadian ekstrem yang pernah dialami, dengan perencanaan yang diprakarsai oleh bencana di masa lalu," ungkapnya.

BACA JUGA:10 Negara Terpanas di Dunia, Ada Indonesia?

Gelombang panas memiliki dampak besar pada kehidupan manusia. Mulai dari mempersulit kehidupan sehari-hari dan pekerjaan, menghancurkan pertanian dan pembangunan, efek lanjutan seperti peningkatan risiko kebakaran hutan, hingga membunuh banyak orang.

Persiapan menghadapi fenomena itu, Science Alert mencatat bisa mengurangi jumlah kematian. Salah satunya dengan pendinginan tempat pada wilayah perkotaan, pergeseran atau pengurangan jam kerja.

"Dalam penelitian ini, kami menunjukkan bahwa peristiwa pemecahan rekor dapat terjadi di mana saja. Pemerintah seluruh dunia perlu bersiap," kata peneliti atmosfer dari University of Bristol, Dann Mitchell. *

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: