Tiga Pekan Anggara dengan Tradisi Saat Ini

Tiga Pekan Anggara dengan Tradisi Saat Ini

Vindy Artika Septifani--

RADARUTARA.ID- Hari jamak itu, hari kasih sayang, dendam berahi yang berhasrat. Hei, butuh menginjak berapa suksesi agar mendengar deretan klausa ‘Selamat Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air?’. Berawal dikenang menjadi harusnya mengenang. Mungkin analogi itu terlalu dilematis untuk disederhanakan, padahal tidak melewatkan dimanakah kau dilahirkan.

 

Berteraskan memorandum Osamu Seiri nomor 44, dilakukan Panglima Tentara ke-16, Letjen Kumakici Harada. Oleh pengaruh gesekan kepala Gunseikan dengan muslihat putar belitnya. Apalah arti aksi putar belitnya? Apalagi, jika untuk dianggap ber-nuraga pada Indonesia padahal diskriminatif berbelit di sana, kekejaman, apalagi pelecehan pada kaum pertiwi. Tidak, betul tidak se-kincup itu tempo dulu. Kalian panggil saja kesepakatan ganda, sisi lain tangannya mengepal pada Si Matahari Terbit. Sisi lainnya tetap setia pada pijakannya. 

 

Tidak lebih atau kurang dari Jawa, Bali, Sumatra, dan Blitar hingga para unggas kecil yang menjadi martir ketegangan tempo itu dari serangan. 14 Februari 1945, kau yang hanya berupa angka harus menjadi bukti pemberontakan kami. Lilin lebah, Supriyadi mulai melepas tembakan pada 29 Februari 1945. Lagi-lagi berteraskan akal kancil negosiasi, berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi tanpa ada celah curiga. Siapa sangka jika siasat ini berhasil memimpin hingga pasukan Muradi kembali ke Batallion. Nahas, 68 anggota ditukas di Mahkamah Militer Jepang. Dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo ditukas, sementara Supriyadi dianggap hilang, tidak tertulis dalam persidangan.

 

18 Agustus—Barometer pembubaran PETA berteraskan persetujuan Soekarno dan Perjanjian Kapitulasi Jepang dengan sekutu, Kekaisaran Jepang memerintahkan untuk menyerah. Presiden pertama Indonesia enggan diberi titel merdeka oleh campur tangan Si Matahari Terbit. Alih-alih meninggikan pangkatnya menjadi tentara nasional, Presiden pertama memilih membubarkannya. 86.400 detik berlalu Jendral Nagano Yuichiro membacakan pidato perpisahan untuk anggota PETA.

 

Bogor, 18 Desember 1995 monumen PETA diresmikan. Saksi bisu sumbangsih perjuangan kemerdekaan tanah pijakan, tak hanya itu sungguh, mereka di antaranya berjasa dalam sejarah pembentukan Tentara Nasional Indonesia, yang berpangkal dari Badan Keamanan Rakyat (BPR), Tentara Kemanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, dan Tentara Republik Indonesia (TRI).

 

Bersisa dari Masa Jugun Lanfu yang tak hanya berdampak bagi anggota PETA, peristiwa ini berdampak pula pada kaum pertiwi. Kelelahan lekas bertempur di medan perang, memilih ribuan kaum pertiwi layaknya mengambil barang sendiri. Menjadikannya pelayan nafsu gairah. Apa janjinya? Pekerjaan yang layak nan berdampak, kehidupan yang layak, faktanya mereka masih merasakan tangisan yang marak. Apa lagi jika bukan kebiasaan mereka di negeri sana. Bertekad pada sistem pranata yang mengedepankan laki-laki daripada perempuan. Beribu cara Si Matahari Terbit menyembunyikan dokumen arsip aksi gelap Jugun Lanfu, Saat 1993, dokumen gelap itu ditemukan setidaknya untuk meminta hak keadilan dari korban Jugun Lanfu. Alih-alih mendapat keadilan atau bantuan, akibat lambatnya pemerintahan kala itu para korban Jugun Lanfu memilih bungkam menganggap peristiwa itu sebagai aib masa lalu. Dikonfirmasi sebagai aib bangsa, dokumen gelap itu sengaja dibungkam setelah Indonesia merdeka. 

 

Agaknya pelecehan bak tradisi lisan turun-temurun. 1945 hingga 2023, apa yang diharapkan lagi dari tahun-tahun setelahnya? Hukuman dengan berbagai usulan pun tak mampu menamparnya. Mungkin mereka tengah berpegang teguh bahwa sejarah harus dikenang. Menginjak 195 orang sebagai jumlah korban paling menunjak dalam sejarah hukum. Hei, apa mungkin seorang mudir pun bisa melakukan bagaikan tangan di atas? Apalagi dengan guru mengaji, guru sekolah yang seharusnya berbagi ilmu bukan berbagi gairah pada anggota didiknya. Bocah sekolah dasar, menengah pertama, menengah ke atas, atau perguruan tinggi. Mana lagi yang hendak dipilih? Seorang artis, HRD, para pekerja kantoran, wirausaha, bahkan pemulung. Stasiun, sekolah, pesantren, kantor, tempat wisata, bahkan sebuah tempat terbengkalai dengan bangunan-bangunan batu yang harus menjadi saksi bisu tradisi itu. Agaknya sebutan predator tak lagi bagi buaya yang merangkak di air tawar.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: indonesia student dan youth forum