Dari Reformasi ’98, Pemilu ’99 sampai Jimat Kebal

Dari Reformasi ’98, Pemilu ’99 sampai Jimat Kebal

Catatan Perjalanan 20 tahun Rakyat Bengkulu

Oleh: Agustam Rachman dalam Memoar RB dan Gerakan Mahasiswa

Tepat tanggal 1 September 2021, Surat Kabar Harian (SKH) Rakyat Bengkulu (RB) genap berusia 20 tahun, saya termasuk merasa beruntung sebagai generasi yang mengamati dari awal perjalanan panjang koran Semarak dan kemudian berganti nama menjadi SKH RB. Perjalanan RB tidak bisa dipisahkan dari Koran Semarak.

Koran Semarak ini adalah koran yang sahamnya 'patungan' antara Jawa Pos dengan Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu. Awal saya berkenalan dengan kru koran Semarak, waktu itu tahun 1996 ketika saya ikut pendidikan jurnalistik di kampus Universitas Bengkulu (UNIB). Kebetulan salah satu materinya adalah kunjungan ke kantor koran Semarak.

Esoknya foto saya dan rombongan peserta pendidikan jurnalistik terpampang di halaman bagian dalam koran Semarak. Perasaan bukan main senangnya.

Bagaimana tidak, bayangkan ada foto saya dan sejumlah rekan mahasiswa lainnya terpampang di koran. Walaupun itu hanya berita gambar tanpa ada wawancara. Setelah itu saya dan teman-teman aktifis kampus memiliki hubungan baik dengan wartawan koran Semarak seperti Bang Rahman Jasin, mas Sukatno dan Bang Sahbandar serta mas Warsiman. Termasuk juga dengan 'bos' Semarak seperti bang Aca (Ardiansyah) dan Kak Min (Muslimin) Banyak kegiatan mahasiswa dimana kami sebagai panitia, seperti acara seminar dan kami liput serta tulis sendiri beritanya lalu diantar ke Semarak.

Tentu pihak koran Semarak senang menerima dan memuat beritanya. Apalagi saat itu jumlah wartawan Semarak sangat terbatas. Jadi tidak mungkin dapat meliput semua acara mahasiswa. Kamipun senang sebab kegiatan diberitakan, terlebih kami tidak dimintai biaya berita pariwara oleh Semarak.

Kesan saya soal 'orang-orang lama Semarak' perlu saya tulis.

Misalnya bang Rahman Jasin dia sosok yang egaliter dan cenderung cuek, gayanya seperti seniman karena memang pernah lama magang di teaternya Rendra si Burung Merak. Apalagi kalau berjaket levis belel sambil nongkrong di atas vespa kongo-nya. Oya dia sering memberi uang ke aktifis yang sering jadi sumber berita. Kami pernah diberi uang Rp 20 ribu tahun 1997, dan saat itu nilainya besar sekali.

Ongkos angkot bagi mahasiswa dari jalan Suprapto ke kampus UNIB hanya 300 perak, dan makan sepiring nasi telur di warung sebelah asrama Transito hanya Rp 2.000.

Mas Katno (Sukatno), Beliau cerdas kalau sudah wawancara. Karena pada waktu itu sudah menggunakan bahasa Inggris, sehingga rasa-rasa sedang di Eropa.

Bang Sahbandar orangnya serius dan suka to the point kalau bicara. Sedangkan yang unik itu mas Warsiman, karena dia memiliki suara melengking, matanya melotot seperti mau keluar ketika bicara dengan rokok yang tak henti-hentinya dihisap.

Dalam tulisan singkat ini, memang sulit untuk menulis secara lengkap kesan dan pengalaman dalam perjalanan RB. Saya berusaha mencari tambahan data dengan menelpon beberapa teman untuk melengkapi tulisan ini. Termasuk menelpon Rusman Effendi yang kisahnya ada dalam tulisan ini.

Catatan yang berisi kesan dan pengalaman itu coba saya uraikan dalam bentuk tema-tema menarik dan disesuaikan dengan alur waktu, yaitu sebagai berikut:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: