Apa Kabar SPP Rp 22 Miliar?

Apa Kabar SPP Rp 22 Miliar?

ARGA MAKMUR RU - Ketidakjelasan paparan dana perguliran program Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang ditaksir mencapai Rp 22 miliar (data 2018,red) di Bengkulu Utara (BU) praktis tanpa memiliki sistem pengawasan. Berkaca dari kasus Korupsi Dana Ekonomi Produktif (DEP) dari program Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Pesisir (PMEP) yang baru dieksekusi jaksa. Ketidakjelasan sebaran dana perguliran yang nyatanya tak memiliki skema penyelamatan dari daerah itu, layak untuk dilakukan evaluasi. Bukan tidak mungkin, puluhan miliar dananya menguap oleh oknum tak bertanggungjawab. Merujuk rilis pertengahan 2018, cukup banyak Unit Pengelola Kecamatan (UPK) yang tak aktif. Dugaan menguapnya dana perguliran itu pun ditambah lagi dengan adanya UPK yang tak jelas lagi keberadaannya. Disusul pula dengan tidak adanya pelaporan periodik. Kepala DPMD BU, Ir Budi Sampurno, tidak menyangkal soal keberadaan UPK mati dan mati suri hingga persentase yang rendah untuk UPK yang masih aktif di daerah. Menyadur dengan angka perguliran yang sempat dicatat dan \"dibiarkan liar\" sebesar Rp 22 miliar di tahun 2018, praktis belum ada tindak lanjut pengawasan dari daerah. Budi hanya menyampaikan, bakal menggelar pertemuan untuk membahas persoalan ini. \"Ada persoalan juga di lintas kementerian soal hal ini. Sehingga menyebabkan daerah, sedikit sulit mengambil langkah-langkah administratif,\" kata Budi Sampurno, belum lama ini. Disinggung status SPP yang merupakan bagian dari PNPM yang notabene sudah berakhir 2015 lalu? Mantan Camat Ketahun tidak membantah hal ini. Dan langkah membahas persoalan ini sebenarnya sempat dilakukan Budi. Hanya saja, belum ada tindak lanjut secara konkret. Catatan Radar Utara, anggaran pendampingan untuk melakukan pengawasan sebaran SPP ini yang belum pernah ada. Soal ini, Budi mengaku tengah mengambil langkah-langkah. Mesti tak menjelaskan secara gamblang. \"Kita akan rapatkan lagi,\" singkatnya. Ketidakjelasan regulasi atau model pengawasan dari daerah, soal SPP ini belum juga pernah dibahas atau ditanya dewan. Padahal, berkaca dengan kasus-kasus yang terjadi seperti dari bantuan BRDP, UPKD, karena sistem pengawasan yang tak jelas, menyebabkan spot-spot pengelola dana hibah itu, hilang begitu saja. Sejalan dengan pertanggungajwabannya yang memprihatinkan juga. Ketua Bapemperda DPRD BU, Tommy Sitompul, SE, ketika dibincangi soal ini menilai langkah penguatan, pengawasan hingga penyelamatan UPK bersama dengan dana pergulirannya patut dilakukan. Tapi politisi Golkar itu, juga tak menjelas langkah-langkah yang akan dilakukan pihaknya. Khususnya dalam pelaksanaan fungsi lembaga politik itu, di bidang pengawasan anggaran. \"Dana perguliran akan baik, ketika dibarengi dengan aturan-aturan baku. Sehingga pelaksanaannya lebih terukur. Kita akan mencoba mengambil langkah dalam persoalan ini,\" ungkapnya. Secara umum, kerja PNPM khususnya dana perguliran SPP itu, tak hanya bertumpu di UPK saja. PNPM dengan kegiatan pembangunan fisik dan pemberdayaan itu, memiliki tahapan kerja. Salah satunya keberadaan Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) yang terdiri dari beberapa unsur. BKAD ini fungsinya memfasilitasi gelaran Musyawarah Antar Desa (MAD) yang wajib digelar di setiap kecamatan. Ruang ini, untuk mendengarkan dan meminta Laporan Pertanggungjawaban UPK selaku pengelola SPP. Selain itu, MAD juga menjadi penentuan, perguliran di periodisasi tertentu. Karena di dalam gelaran MAD sendiri, untuk melihat sejauh mana kualitas perguliran dana pemberdayaan, termasuk juga dengan kredit macet. Besaran perguliran kepada kelompok-kelompok pun ditetapkan dalam tahapan ini. Pascaberakhirnya PNPM 2015, alur tahapan kerja PNPM ini tak jelas siapa yang mengawasinya. Ini sejalan dengan ketidakjelasan atau tindaklanjut pusat yang diikuti pula oleh daerah, akan model pengawasan dan pendampingan program yang rawan keberadaan kelompok fiktif itu. Pasalnya, dengan berakhirnya program, praktis pengelolaan dana bergulir itu hanya dilakukan oleh UPK. Lemahnya pengawasan, dibuktikan dengan rapat lintas sektor yang sempat difasilitasi Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) 2018 silam, mengungkap fakta-fakta akan elemen program pemberdayaan itu yang menjadi spot kredit macet, imbas dari sistem pengendalian program yang nyaris tidak ada. Termasuk pula dengan pengawasan terhadap UPK, selaku pengelola. Meski masih ada UPK yang terbilang sehat, dari total sebaran di seluruh kecamatan yang ada di daerah ini, eks UPK yang tengah berupaya mengganti nama lembaganya itu dan terus melakukan program pergulirannya itu, jumlahnya tak representatif lagi dengan total jumlah UPK di daerah. (bep)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: