Perpres JKN Terhadap Korban Kejahatan

Perpres JKN Terhadap Korban Kejahatan

  • Dinilai Diskriminatif
ARGA MAKMUR RU - Nuansa diskriminatif hingga pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM), muncul dalam kasus tak ditanggungnya jasa layanan medis persalinan atas korban kekerasan seksual di RSUD Arga Makmur. Kuntum, bukan nama sebenarnya, harus menanggung pahitnya hidup, setelah menjadi korban asusila yang didalangi ayah kandungnya sendiri. Sebagai peserta BPJS Mandiri yang tertib bayar, perempuan yang baru saja melahirkan itu, ditambah lagi bebannya harus membayar sendiri biaya persalinan. Meski, kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) miliknya masih aktif. Radar Utara melakukan penelurusan pangkal masalah yang membuat korban kekerasan seksual itu. Ternyata, Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) itu, menyadur aturan yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018. Secara sederhana, regulasi itu mengatur tentang layanan medis yang tak dijamin oleh JKN. Lebih detilnya ditegas di Pasal 52 ayat (1). Pasal yang mulai disorot karena bakal terus memberatkan para korban kejahatan itu, diantaranya menegaskan beberapa kriteria layanan yang tak ditanggung JKN, seperti terkait pidana penganiayaan, kekerasan seksual, terorisme, perdagangan manusia (human trafiking) dan lain sebagainya. BPJS juga mendalilkan dasar sikapnya itu, pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Seturut dengan kasus yang terjadi di Bengkulu Utara, aturan ini menyebut bantuan medis hingga psikologis korban kejahatan, wajib mendapatkan rekomendasi dari Lembaga Penjamin Saksi dan Korban (LPSK). Kepala Unit Pelayanan BPJS Arga Makmur, Nanang Jayadi, S.Kep, MM, dalam wawancara kedua kemarin menyampaikan, regulasi itu yang menjadi acuan sikapnya. Dia menegaskan, persoalan ini pun sudah dikonsultasikannya ke BPJS Cabang Curup yang menjadi induk alur hirarki kerja di bidang BPJS Kesehatan di daerah ini. \"Jadi, ada alur-alur khusus yang memang harus kami pedomani, dalam memverifikasi setiap jasa medis,\" kata Nanang, kemarin. Ditanyai soal kemungkinan adanya korban kekerasan seksual, seperti perkosaan atau kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang menyebabkan korbanya berbadan dua? Nanang tak menampik kemungkinan itu. Karena itu, dia menilai persoalan ini perlu mendapat kajian dari pihak-pihak terkait. \"Karena sistem baku berupa regulasi, itu menjadi pedoman operasional,\" terangnya.
  • Bayi Ditanggung BPJS
SEMENTARA ITU, Nanang menjelaskan, bayi yang dilahirkan Kuntum, mendapatkan jaminan dari BPJS. Pasalnya, kata dia, dari hasil koordinasinya, bayi tersebut masih memerlukan tindakan medis. Nanang tak menjelas gamblang penyebabnya. \"Bayi dijamin BPJS,\" terangnya. Hal ini senada dengan pernyataan Direktur RSUD Arga Makmur, dr Jasmen Silitonga, Sp.KK, M.Kes, ketika dibincangi wartawati koran ini, Kamis kemarin. Jasmen menjelaskan, biaya yang harus dikelurkan oleh korban untuk persalinan dan juga perawatan selama proses persalinan di RS plat merah itu berada pada angka Rp 6 juta karena korban yang merupakan peserta BPJS kelas III, mengajukan naik kelas pelayanan ke kelas II. Namun, Jasmen membeberkan, karena ada masalah dengan klaim kepesertaan BPJS dan pasien menjadi pasien umum, pihaknya memberikan kebijakan dengan menurunkan kelas untuk biaya persalinan yang dibebankan kepada korban incest itu ke kelas III meski perawatan di kelas II sehingga biaya yang harus dikeluarkan hanya sebesar Rp 4.059.700. \"Kita telah mengetahui permasalahan mengenai klaim BPJS persalinannya. Makanya kami memberikan kebijakan kepada pasien dengan menurunkan biaya untuk persalinannya,\" jelas Jasmen. Diketahui, biaya persalinan sendiri sudah dibayar lunas oleh pihak keluarga, Rabu (8/1) kemarin sekitar pukul 16.30 WIB dan pasien sudah diberikan ijin untuk pulang (rawat jalan). Sementara untuk bayinya, hingga Kamis kemarin, masih mendapatkan perawatan di bangsal anak RSUD Arga Makmur dan menjalani perawatan tim medis meski kondisinya makin membaik dan sehat. \"Biaya persalinan sudah dilunasi oleh pihak keluarga dan kondisi bayi dalam keadaan sehat, masih menjalani perawatan di bangsal anak. Bayinya cantik, beratnya 2.300 gram, panjangnya 44 Cm,\" pungkasnya. Butuh Perlakuan Khusus Bagi Korban PEGIAT perlindungan perempuan dan anak, Julisti Anwar, SH, angkat bicara atas persoalan berat yang tengah mendera Kuntum yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri itu (incest). Dia menegaskan, perlakuan khusus perlu diberikan kepada korban kekerasan seksual. Pasalnya, kata dia, korban tak hanya mengalami kekerasan fisik semata. Tetapi juga psikis yang penangannnya mesti sangat khusus. \"Jadi penanganan kasus asusila ini, tak cukup hanya dengan perspektif yuridis saja. Tapi psikologis dan sosial. Regulasi pun mestinya, harus mencerminkan itu. Dengan terpaan persoalan yang bertubi-tubi seperti ini, beban korban semakin berat,\" kata Julisti. Praktisi hukum, Wawan Ersanovi, SH, menilai ada kesan diskriminatif atas perpres yang tengah menjadi perlindungan sikap oleh BPJS itu. Senada dengan Julisti, Wawan menegaskan, sebuah produk hukum baik itu undang-undang, perpres, PP hingga kepmen dan segala turunannya, wajib mengedepankan persamaan hak setiap warga negara. Dia menilai, perpres yang lahir 2018 itu, mesti dilakukan revisi untuk mengakomodir kepentingan penanganan medis dan psikis terhadap korban-korban kekerasan seksual. Sementara, sebagai peserta program yang dibuat pemerintah, Kuntum sendiri merupakan warga negara yang taat. Sebagai peserta BPJS mandiri, kepesertaannya pun aktif. \"Artinya, korban ini taat. Kewajibannya sudah dilaksanakan. Dia menuntut haknya. Dimana letak hadirnya pemerintah atas persoalan ini. Saya kira, perlu ada penanganan lanjutan, terkait regulasi ini. Moga-moga, pihak terkait bisa menyikapinya dengan bijak. Termasuk pemerintah,\" tegasnya. Dalam kasus yang menimpa Kuntum, Wawan menyampaikan kemungkinan-kemungkinan persoalan dis-sosial yang bisa semakin memberatkan beban, para korban kekerasan seksual. \"Kami sepakat jika untuk antisipasi bagi pelaku kejahatan, mungkin terorisme, perdagangan manusia termasuk pelaku kekerasan seksual, kecuali anak yang diatur dengan UU khusus. Tapi tidak untuk para korban. Jelasnya, tak hanya fisik, tapi psikisnya pun pasti terguncang,\" pungkas advokat dengan disiplin ilmu Hukum dengan kualifikasi Hukum Tata Negara ini. (bep/mae)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: