Dikutip melalui CNBC Indonesia, latar belakang aturan tersebut sebenarnya berangkat dari ketakutan dan sikap traumatis pemerintah Hindia Belanda. Karena, di abad ke 19 dulu banyak pemberontakan bermula dari mereka yang pulang haji. Salah satu yang terbesar adalah Perang Jawa pada 1825-1830.
Sampai orang Belanda memandang orang bergelar haji sebagai bentuk kewaspadaan.
BACA JUGA:Jangan Asal Pilih, Ini 5 Tanda Kurma Tidak Layak Dikomsumsi
Agus Sunyoto: Pemberontakan Dulunya Dipelopori oleh Guru hingga Ulama dari Pesantren
Dilansir dari NU Online, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto mengatakan pemberian gelar Haji mulai muncul sejak tahun 1916. Dulunya, pemberontakan selalu dipelopori oleh guru thariqah, haji, dan ulama dari Pesantren.
"Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok," kata Agus Sunyoto.
"Sejarahnya (gelar “haji”) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi 'biang kerok' pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan," jelasnya.
BACA JUGA:Resep Almond Slice Cookies, Sajian Kue Kering di Hari Lebaran Idul Fitri
Lebih lanjut, Agus penulis buku "Atlas Wali Songo" mengatakan, para kolonialis sampai kebingungan karena setiap ada pribumi pulang dari Tanah Suci selalu terjadi pemberontakan. Untuk memudahkan itulah, pada tahun 1916 penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar "Haji".
"Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu," kata Agus.
"Untuk apa (ordonansi haji)? Supaya gampang mengawasi, intelijen, sejak 1916 itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari luar negeri diberi gelar haji," lanjutnya.
Dan akhirnya, panggilan tersebut akhirnya diwariskan hingga kini.*