RADARUTARA.ID- Setiap kali ada orang yang baru pulang dari ibadah Haji di tanah suci selama 40 hari pasti akan mendapat gelar atau panggilan baru.
Jika semula namanya hanya dipanggil pak/Bu, setelah ibadah haji akan berubah menjadi Pak Haji/Bu Hajah. Bahkan panggilan baru pada nama, itu juga akan menambah gelar H/Hj di bagian depan namanya.
Dan hal, ini bukanlah yang baru di Indonesia. Namun ternyata gelar Haji/Hajah ini bukan berasal dari Arab Saudi dan hanya ada di Indonesia lho.
BACA JUGA:Jangan Salah Pilih! Ternyata Ini Perbedaan Tecno Spark 20 Pro+ dan Infinix Zero 30 4G
Berikut asal "Haji" yang perlu kamu tahu!
Tepatnya pada dua abad, lalu. Pergi haji bukan hanya sebatas dilihat dari sudut pandang bisnis, ibadah atau spiritual. Tapi, juga dilihat dari sudut pandang politik.
Ini, dikarenakan pada jamaah haji asal Indonesia dinilai kerap 'berulah' setelah dari Makkah. Menurut pandangan kompeni Belanda, para jamaah kerap belajar hal-hal baru saat di tanah suci.
Ketika pulang kampung ke Indonesia, mereka menyebarkan ajaran baru yang dapat membuat rakyat di akar rumput memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda.
Jacob Vredenbregt dalam Indonesia dan haji (1997) mengatakan, pikiran seperti itu pertama kali muncul di era Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels di tahun 1810-an.
Kala, itu pencetus Jalan Raya Anyer-Panarukan tersebut berpikir jika seorang pribumi yang pulang Haji kerap menghasut rakyat untuk memberontak ketika berpergian. Oleh karena, itu Daendels meminta para jamaah untuk mengurus paspor haji sebagai penanda.
Dulu ketika orang Jawa pergi Haji disebut sok suci. Bahkan pemikiran yang sama juga dimunculkan ketika Indonesia dijajah Inggris lewat Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles. Pada catatan berjudul History of Java (1871), Raffles bahkan, terang-terangan "menyerang" orang yang pergi haji.
BACA JUGA:Ketua Muhammadiyah Bengkulu Utara Doakan Arie Septia Adinata jadi Pemimpin Adil dan Bijaksana
Ia mengatakan, bahwa orang Jawa yang pergi haji itu aok suci. Karena dengan kesucian itu mereka bisa menghasut rakyat dan menjadi ujung tombak perlawanan di kalangan kelompok masyarakat.
Kendati demikian, tulis Dien Madjid, dalam berhaji di masa kolonial (2008), kebijakan politis haji baru diterapkan secara menyeluruh pada 1859 lewat aturan khusus. Aturan tersebut mengatur secara jelas mekanisme penerimaan orang yang baru saja pulang haji. Melalui mekanisme, itulah mereka bakal melewati serangkaian ujian.
Jika lolos dari ujian, maka mereka harus mencantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama. Sekaligus juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, yakni jubah ihram dam sorban putih.