RADARUTARA.ID - Pada fase awal penjajahan Belanda, orang Eropa yang datang ke Indonesia kebanyakan kaum pria. Alhasil, ketiadaan kaum wanita dari Eropa menjadi masalah. Mereka menjadi sulit untuk melanggengkan superioritas sebagai orang Eropa.
Itu sebabnya, banyak orang Belanda yang memilih untuk meminang seorang nyai yang berperan untuk mengatur rumah tangga sekaligus sebagai teman tidur (gundik).
Dari praktik pergundikan, lalu muncul anak-anak mereka yang dikenal sebagai keturunan Indo, atau yang biasa disebut dengan "sinyo" dan "noni".
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sinyo dimaknai sebagai anak laki-laki yang belum kawin dari bangsa Eropa ataupun peranakan Eropa. Sedangkan, noni adalah gadis kecil keturunan Eropa.
Kelahiran anak hasil asmara tersebut kemudian lahir dengan tipikal yang mengadopsi watak Eropa seperti biasanya.
Mereka bekerja layaknya oranv Belanda, sekolah juga layaknya orang Belanda, sampai berbahasa seperti Belanda. Tetapi, hal yang sama tak berlaku dari cara mereka melihat kaum bumiputra yang menjadi identitas ibunya.
Kebanyakan sinyo-sinyo Belanda menganggap rendah kaum bumiputra dengan stereotip pemalas dan bodoh. Padahal, mereka sendiri mempunyai sisi yang cukup gamang di Hindia-Belanda (Indonesia).
Di lain sisi, mereka dianggap rendah oleh orang Eropa lantaran bukan orang Belanda tulen. Di sisi lainnya, mereka juga tidak diterima oleh kaum bumiputra yang menganggap anak praktik pergundikan derajatnya lebih rendah.
Gambaran rasis ini, sinyo-sinyo Belanda sebenarnya sudah diperlihatkan oleh Pramoedya Ananta Toer melalui cerita tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia pada tahun 1980.
BACA JUGA:Kisah Pilu Dibalik Slogan Penuh Harap, Banyak Anak Banyak Rezeki, Awal Mula Lahirnya Tanam Paksa
Dari buku tersebut, ada dua orang karakter Indo-Belanda (sinyo) yang mempunyai sifat rasis kepada kaum bumiputra. Mereka yaitu Robert Mellema dan Robert Suurhorf.
Keduanya perlihatkan oleh Pram sebagai sosok yang lupa dengan daratan. Yang artinya, hal-hal yang berbau bumiputra ketap dibenci oleh mereka, sehingga menganggap posisi kaum Belanda lebih agung.
Sejalan dengan itu, dari keduanya Pram mencoba menyelipkan pesan kepada pembaca mengenai sikap rasis seorang indo-belanda yang tidak ingin mengakui sisi ke-Indonesianya, membuat kaum bumiputra semakin paripurna sebagai warga negara kelas tiga di Hindia-Belanda.
Alasan dari sinyo-sinyo yang ketika zaman itu merasa agung tak lain dikarenakan warna kulit mereka yang seperti orang Eropa. Karena warna kulit itulah, mereka menganggap diri mereka superior di Hindia-Belanda.*