RADARUTARA.ID - Begitu sering kita dengar ungkapan "Banyak anak, banyak rezeki," yang terdengar penuh harapan. Ungkapan ini seringkali diucapkan dengan keyakinan bahwa keluarga yang memiliki banyak anak akan mendapatkan berkah dan kelimpahan.
Namun, tahukah Anda bahwa slogan ini memiliki akar yang lebih dalam dalam sejarah kolonial Belanda.
Dahulu, slogan ini bukanlah sekadar ungkapan semata. Ini adalah bagian dari propaganda yang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mencapai tujuan mereka.
Slogan ini menjadi salah satu instrumen untuk menambah pekerja peribumi dalam sistem yang penuh dengan ketidakadilan.
BACA JUGA:Keajaiban 3 Surat Terakhir Berawalan Qul dalam Al-Quran, Penarik Rezeki dan Penangkal Gangguan Sihir
Sejarah ini bermula setelah perang besar Diponegoro pada tahun 1825 hingga 1830 yang mengorbankan sekitar 200 ribu nyawa. Akibat perang ini, Belanda harus menanggung hutang hingga mencapai angka yang fantastis, sekitar 32 juta gulden.
Di tengah krisis ekonomi yang melanda, seorang gubernur Belanda bernama Van den Bosch mengusulkan sebuah solusi radikal: sistem tanam paksa.
Sistem tanam paksa adalah konsep yang sederhana namun brutal. Rakyat wajib menanam komoditas ekspor seperti kopi di tanah mereka, dan hasil panennya harus diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah Belanda. Sebagai gantinya, mereka tidak lagi membayar pajak tanah. Sehingga, rakyat Jawa pada masa itu bukan hanya membayar pajak dengan uang, tetapi juga dengan hasil panen mereka sendiri.
Keputusan untuk menerapkan sistem tanam paksa ini mengubah sejarah Jawa. Seluruh pulau Jawa harus memikul beban sistem yang tidak adil ini. Belanda sendiri membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk menjaga roda ekonomi mereka berputar lewat sistem tanam paksa. Inilah yang kemudian menjadi benih pertumbuhan penduduk yang signifikan pada masa kolonial di Jawa.
BACA JUGA:Dianggap Sedekah dan Dibangunkan Istana di Surga, Segera Lakukan Shalat Sunnah Ini
Dalam upaya untuk menjalankan agenda tanam paksa, Belanda membangun sarana dan prasarana yang mumpuni. Mereka memperbaiki infrastruktur, membangun jalan-jalan baru, dan mendirikan bangunan pendukung lainnya. Semua ini adalah upaya untuk mengoptimalkan eksploitasi sumber daya dan memastikan bahwa tanam paksa berjalan sesuai rencana mereka.
Ketika kita mendengar ungkapan "Banyak anak, banyak rezeki," sekarang, mungkin kita bisa melihatnya dari perspektif yang berbeda.
Sejarah menyiratkan bahwa slogan ini bukanlah semata-mata tentang berkah keluarga besar, tetapi juga tentang pahitnya masa lalu yang harus dihadapi oleh rakyat Indonesia dalam perjuangan melawan sistem tanam paksa yang brutal.
Kita sekarang, di era yang berbeda, memiliki kesempatan untuk merenungkan dan memahami bagaimana sejarah telah membentuk makna di balik kata-kata sederhana yang sering kita ucapkan. Semoga dengan pemahaman ini, kita bisa menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan kita.*