Juhaili: Soal Pabrik Karet, Perlu Langkah Serius

Kamis 23-04-2020,09:30 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Redaksi

ARGA MAKMUR RU - Beratnya mendirikan pabrik karet baru di Bengkulu Utara (BU), yang diganjal oleh regulasi level pusat hingga kini masih belum terjembatani dengan jalan keluar positif. Sementara, produksi karet penduduk yang saat ini sebarannya seluas 31 ribu hektar, sangat mudah menjadi bulan-bulanan monopoli harga dengan dalih jarak, penyusutan hingga kualitas karet itu sendiri. Wakil Ketua I DPRD BU, Juhaili, S.Ip, mengatakan, secara umum proses yang didukung oleh daerah sudah sangat positif. Tinggal lagi, kata dia, manuver-manuver yang semestinya dilakukan oleh investor dalam hal ini PT Bengkulu Mas Sejahtera (BMS) dipandang perlu dilakukan. Maklum saja, pentolan perusahaan yang bakal mendirikan pabrik di kawasan Kecamatan Kota Arga Makmur itu, hingga kini tak nongol di publik sekadar menyampaikan progres-progres yang telah dan belum dilakukan terkait dengan pabrik yang rencananya berkapasitas 18 ribu ton pertahunnya itu. \"Saya kira persoalan ini, sangat penting. Bahkan layak dijadikan program bersama di daerah. Dan legislatif, sangat mendukung upaya ini,\" kata Juhaili, kemarin. Dia mengatakan, salah satu persoalan inti dalam pendirian pabrik karet baru, yang akan dilakukan oleh PT BMS terdapat dalam Peraturan Menteri Perindusterian Nomor 9/M-IND/Per/3/2017 yang pada intinya tertuang dalam Pasal 3 tentang Izin khusus untuk Penanaman Modal Industri Karet Remah. Dalam aturan itu, kata Lilit, panggilannya, harus memenuhi hal-hal yang ditegaskan dalam Pasal 2 permen tersebut yakni harus terintegrasi dengan pengembangan kebun karet sendiri, juga wajib memenuhi kebutuhan minimal 20 persen total kapasitas produksi pabrik yang akan didirikan. Padahal, lanjut dia lagi, dalam Permentan Nomor 21/PERMENTAN/KB/.410/6/2017 yang merupakan perubahan kedua atas Permentan Nomor 98/PERMENTAN/01/.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha perkebunan, menegaskan syarat kepemilikan kebun inti dengan luasan 20 persen, diberikan relaksasi untuk pemenuhannya dengan skema kerjasama yang diusahakan sendiri atau sewa atau sesuai dengan kesepakatan antara perkebunan dan perusahaan industeri hasil perkebunan. \"Artinya ini yang harus dibahas bersama. Tentu turut melibatkan investor. Jadi tidak mengesankan justru membenturkan antar pemerintah yakni daerah dan pusat,\" ungkap Juhaili. Hanya saja, kata dia, perlu juga dibahas bersama tentang bagaimana kesiapan dari investor itu sendiri. Karena ada celah relaksasi yang sudah ditegaskan oleh regulasi pemerintah. \"Karena persoalan ini mengait pada hajat hidup orang banyak. Dan pemerintahan, baik itu Pemda BU dan DPRD, pastinya akan mendukung upaya ini,\" pungkasnya. (bep)

Tags :
Kategori :

Terkait