Ada Dugaan Pembiaran Atas SPP Rp 22 M di BU?
ARGA MAKMUR RU - Masih ingat dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)? pascaberakhir 2014, program itu lantas dibiarkan begitu saja. Padahal, tak hanya soal aset yang bernilai ekonomis, salah satunya bangunan Kantor Unit Pengelola Kecamatan (UPK) hingga dana bergulir yang di tahun 2018 saja dihitung mencapai Rp 22 miliar, hingga kini dibiarkan tanpa pengawasan. Catatan Radar Utara, program \'warisan\' Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, sempat menjadi ikon dalam menggebrak perekonomian masyarakat dengan skema pemberdayaan. Menyikapi sorotan publik, keberadaan UPK yang tak sehat bahkan tak jelas pengelolanya lagi, kredit macet hingga anggaran perguliran Simpan Pinjam Perempuan (SPP), persoalan ini sempat menjadi cermatan daerah. Pasalnya, hingga kini belum ada satu pun regulasi pemerintah daerah yang mencerminkan penyelamatan uang negara itu. Berakhirnya PNPM di tahun 2014, penyelenggaraan program-program PNPM, praktis hanya dimotori UPK. Perangkat terintegrasi yang sebelumnya menempel di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), hingga kini tak lagi berfungsi. Persoalan intinya adalah ketiadaan anggaran. Kesan dana perguliran yang idealnya sudah berkembangan dari Rp 22 miliar itu pun, makin liar. Bisa dibilang tak ada pengawasan hingga terkesan ada pembiaran. Kepala DPMD BU, Ir Budi Sampurno, ketika dikonfirmasi Radar Utara menyoal potensi liarnya dana perguliran SPP yang sempat ditangkap datanya bertengger di angka Rp 22 miliar, ketika menjadi bahasan bersama lintas sektor di awal 2018, mengatakan upaya daerah tengah dilakukan. Salah satunya, kata dia, untuk menjuluk surat dari kementerian terkait, yang nantinya akan digunakan sebagai dasar sikap daerah. \"Dasar surat itu yang tidak ada,\" kata Budi. Disinggung dengan berakhirnya PNPM di 2014 hingga fakta minimnya model pengawasan atas perguliran uang negara tersebut? Secara umum daerah masih melakukan pengawasan-pengawasan. Meski tak menyangkal, tidak maksimal. Dalam rapat bersama dengan lintas sektor yang turut hadir saat itu, dari lembaga penegak hukum, didapati adanya beberapa UPK yang tidak jelas pelaporan keuangannya termasuk hingga keberadaan pengelolanya. Kredit macet pun mewarnai, perguliran dana simpan pinjam yang sangat rawan disalahgunakan itu. \"Kita juga sempat mengajukan dana pendampingan. Karena perguliran totalnya mencapai Rp 22 miliar,\" ungkap Budi yang juga sempat dilontarkan Margono, S.Pd (sebelum jadi Kadispendik BU,red) saat itu, masih menjadi pejabat di DPMD. Ajuan dana pendampingan untuk pengawasan perguliran Rp 22 miliar pun tak tembus. Anggota DPRD BU, Tommy Sitompul, SE, saat dibincangi persoalan ini, menilai perlunya langkah-langkah progresif dari daerah atas dana perguliran yang rawan lenyap, karena minim pengawasan hingga dasar operasional dari daerah tersebut. \"Perlu ada terobosan berbentuk regulasi. Setidaknya dana pendampingan. Agar perangkat di daerah bisa berjalan. Karena pengawasan di setiap UPK yang tersebut di kecamatan, tentunya memiliki rentang kendali yang beragam dan tersebar di seluruh kecamatan,\" kata Tommy yang juga Ketua Bapemeprda DPRD BU tersebut. Menyikapi kondisi minimnya pengawasan daerah yang mengkhawatirkan, perguliran dana Rp 22 miliar itu yang bisa bernasib seperti program bantuan desa (bandes), BRDP hingga mayoritas UPKD yang banyak macet bahkan mati, Tommy mengaku, akan membawa persoalan ini untuk bisa menjadi konsen lembaga dewan. \"Penguatan regulasi saya kira tidak melanggar hukum. Jangan sampai menimbulkan kesan adanya pembiaran atas hilangnya dana pemberdayaan yang notabene bersumber dari uang negara,\" pungkasnya. (bep)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: