Budidaya Kedelai di Lorong Kelapa Sawit
BADAN Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) terus mengupayakan peningkatan produksi kedelai khususnya untuk mendukung kebutuhan kedelai nasional. Melalui Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), dikembangkan budidaya kedelai naungan tanaman kelapa sawit. Teknologi budidaya kedelai ini, atau lebih dikenal dengan Budena (budidaya kedelai naungan), dikembangkan peneliti dari Balitkabi yakni Gatut Wahyu AS, Novita Nugrahaeni, Herdina Pratiwi, Siti Mutmaidah, Kartika Noerwijati, dan Kurnia Paramita Sari. Budena merupakan penanaman kedelai di lorong-lorong tanaman kelapa sawit yang masih muda, berumur kurang dari empat tahun. Penanaman tersebut adalah upaya memperluas areal tanam kedelai selain untuk peningkatan produksi dan sebagai sumber benih kedelai. Pola usaha tani kedelai di areal kelapa sawit pada MK (musim kemarau) I dilakukan setelah padi gogo atau jagung. Tahun 2018 telah dilakukan pengembangan Budena di antara kelapa sawit di Desa Tanjung Jati, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Peneliti Balitkabi Gatut Wahyu AS menjelaskan, “Tata letak tanaman kelapa sawit tersusun dengan jarak tanam antar kelapa sawit adalah 9 m x 8 m, sedangkan lorong yang ditanami kedelai pada ukuran 9 m. TBM1 (tanaman kelapa sawit berumur sekitar 1 tahun) potensi lahan yang ditanami kedelai dengan lebar lorong 7 m (naungan sekitar 5%). Pada TBM2 (tanaman kelapa sawit berumur sekitar 2 tahun) antara 4,5 m ̶ 5,0 m karena terkendala vegetasi tanaman kelapa sawit yang menutupi lorong (naungan 20% hingga 30%).” “Untuk itu, areal lahan TBM1 pada area satu hektar yang bisa ditanami kedelai seluas 0,80 hektar, sedangkan pada TBM2 maksimal 0,6 ha,” lanjut Gatut. Teknologi Budena kelapa sawit ini meliputi pemupukan NPK 175 kg + SP36 75 kg + dolomit 750 kg/ha yang diberikan bersamaan tanam dengan cara larikan, tanam dengan cara tugal, satu lubang tanam 2 ̶ 3 biji, dengan jarak tanam ganda 50 cm x (30 cm x 20 cm) dan tunggal (40 cm x 20 cm), varietas kedelai yang digunakan Dena 1, Dega 1, Anjasmoro dan Argomulyo. Teknologi Budena yang diterapkan di lorong lahan tanaman kelapa sawit pada TBM1 memiliki tingkat potensi hasil kedelai lebih tinggi (tidak termasuk lahan yang ditanami kelapa sawit) dibandingkan dengan lahan di TBM2. “Perbedaan tersebut karena di lahan TBM2 memiliki naungan yang lebih besar, kendala lainnya adalah akar kelapa sawit sudah menjalar hingga ke tengah lorong yang diduga mempengaruhi tanaman kedelai,” jelas Gatut. Teknologi Budena yang diterapkan di lorong lahan tanaman kelapa sawit pada lahan TBM1 menunjukkan produktivitas hasil biji mencapai lebih dari 2,36 t/ha (penggunaan lahan 80%), sedangkan di TBM2 menghasilkan kedelai 1,07 t/ha (penggunaan lahan 60%). Capaian ini, menurut Gatut, menunjukkan bahwa potensi lahan di lorong kelapa sawit baik TBM1 maupun TBM2 untuk budi daya kedelai masih representatif. Di lahan TBM1 potensi tanaman kedelai tertinggi adalah varietas Argomulyo, mencapai 3,61 t/ha dengan tingkat produktivitas 2,88 t/ha (termasuk lahan yang ditanami kelapa sawit) dengan kadar air biji 14%, diikuti oleh varietas Dega 1, Anjasmoro, dan Dena 1. Lebih lanjut Gatut menerangkan bahwa varietas Argomulyo pada jarak tanam tunggal menunjukkan produktivitas hasil lebih tinggi (selisih 1,42 ton), Dena 1 pada jarak ganda relatif lebih tinggi (selisih 0,15 ton), dan Anjasmoro menunjukkan potensi hasil biji lebih tinggi dengan cara jarak tanam tunggal (selisih 0,20 ton). Di lahan TBM1 keragaan komponen hasil biji (tinggi tanaman, cabang, polong isi, dan berat 100 biji) dengan dua model jarak tanam memiliki ukuran yang relatif sama. Di lahan TBM2, varietas Dena 1 menunjukkan potensi hasil biji hingga mencapai 2,12 t/ha dengan tingkat produktivitas 1,27 t/ha, dan lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya pada lahan yang sama. Selanjutnya tingkat produktivitas Dena 1 diikuti oleh varietas Dega 1, Argomulyo, dan Anjsmoro. Varietas Dega 1 menunjukkan potensi/produktivitas hasil biji relatif sama pada dua model jarak tanam, demikian juga komponen hasilnya. Varietas Argomulyo memiliki potensi hasil biji relatif sama di kedua model jarak tanam (1,83 t/ha), meskipun pada jarak tanam ganda memiliki jumlah polong relatif lebih banyak. “Disinyalir perbedaan tersebut terkait ukuran biji pada jarak tanam biasa yang lebih besar. Varietas Anjasmoro menghasilkan potensi hasil biji sekitar 1,70 t/ha pada dua model jarak tanam, dan lebih rendah daripada varietas lainnya di lahan yang sama,” terang Gatut. Berdasarkan produktivitasnya, ungkap Gatut, terlihat bahwa kedua model jarak tanam tidak berpengaruh besar, namun demikian model jarak tanam ganda lebih mudah dalam pemeliharaan tanaman, utamanya pengendalian hama dan penyakit pada tanaman kedelai. (litbang)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: