Bongkar-Bongkar Dugaan Korupsi
Reporter:
Redaksi|
Editor:
Redaksi|
Jumat 27-12-2019,15:26 WIB
- Berpeluang Muncul Justice Collaborator
ARGA MAKMUR RU - Tabir dugaan gratifikasi, dengan modus pinjamanan uang kepada pengusaha konstruksi yang menyulut kemelut antara kontraktor (Hadi Sujono warga kelahiran Kisaran,
Medan, Sumatera Utara (Sumut),red) dengan Pemda Bengkulu Utara (BU), hingga berlanjut ke pelaporan dugaan rasuah yang menyeret nama Bupati Ir H Mian ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
berpeluang memunculkan Justice Collaborator (JC) yang diyakini bisa membuka tabir dugaan korupsi dalam penyelenggaraan kegiatan anggaran, khususnya lelang proyek di daerah yang angkanya di tahun itu mencapai ratusan miliar.
Perlunya munculnya JC dalam kemelut antara kontraktor dengan Pemda BU yang patut diduga mengait pada dugaan praktik rasuah di Bengkulu Utara (BU) dalam \"bagi-bagi proyek\",
sebenarnya sudah terbuka dengan adanya penegasan akan dukungan laporan dugaan gratifikasi ke KPK yang disampaikan Penggugat atas perkara perdata yang tak lain merupakan pengusaha kontraktor dan tengah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Arga Makmur itu.
Penggugat (Hadi Suyono,red) melalui kuasa hukumnya, Ruben Panggabean,SH,MH, memberikan dukungannya atas laporan dugaan gratifikasi itu ke KPK.
Penegasan Ruben ini pun, secara tidak langsung turut memberikan dukungan moral dan tak tertutup lebih konkret lagi, semisal menjadi JC atas dugaan yang tengah ditunggu tindak lanjutnya oleh publik daerah oleh lembaga anti rasuah itu.
\"Kami sangat mendukung adanya laporan ke KPK soal dugaan gratifikasi itu,\" kata Ruben yang dilansir Radar Utara belum lama ini.
Pegiat anti rasuah, Melyan Sori, juga turut mendukung munculnya pemikiran-pemikiran dari publik untuk bagaimana semangat memberangus korupsi dalam penyelenggaraan keuangan negara di daerah itu, dikampanyekan secara masif.
Pasalnya, kata dia, korupsi merupakan pelanggaran hukum yang sudah masuk kategori kejahatan luar biasa (ekstra ordinari), sehingga membutuhkan penanganan yang ekstra pula.
Bukan cuma penegak hukum, namun secara masif yang melibatkan unsur di masyarakat untuk turut serta aktif membongkar praktik memperkaya diri sendiri, keluarga atau kroni-kroni koruptor itu.
\"Pemikiran munculnya JC, saya kira sangat baik. Dan itu bisa semakin mempermudah penegak hukum, dalam menyidik atau menuntut sebuah perkara tindak pidana korupsi,\" kata Melyansori, kemarin.
Disinggung soal, potensi kedua yakni whistle blower yang juga bisa menjadi pendukung dalam pengungkapan tindak pidana khusus dan tertentu? Melyansori juga mengamini adanya opsi itu. Meski lahirnya JC, lanjut dia, tetap memiliki syarat-syarat khusus.
Melyansori juga menambahkan, selain istilah JC yang cukup familiar dalam setiap penanganan dugaan korupsi yang ditangani penegak hukum, salah satunya KPK,
ada juga juga whistle blower yang turut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
\"Sembari menunggu tindaklanjut di KPK. Whistle Blower dan juga JC, merupakan salah satu instrumen yang dibentuk untuk mengakomodir masyarakat dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
Radar Utara pun membuktikan menjadi bagian penting dalam semangat pelaksanaan katalisator dalam dinamika sosial serta peran-peran adukatif untuk masyarakat. Sehingga masyarakat semakin kritis namun konstruktif tentunya,\" terangnya.
Sekadar menginformasikan, dalam SEMA disebutkan, whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.
Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.
Menjadi whistle blower maupun justice collaborator memiliki perlindungan berbeda satu sama lain. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal itu menyebutkan, whistle blower atau saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikan.
Sedangkan justice collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.
Namun, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya.
Untuk menyamakan visi dan misi mengenai whistle blower dan justice collaborator, dibuatlah Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Peraturan Bersama tersebut mengatur tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
(red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: