Tiga Potensi Jeratan Hukum “Kasus” Pinjaman Rp 600 Juta

Tiga Potensi Jeratan Hukum “Kasus” Pinjaman Rp 600 Juta

ARGA MAKMUR RU - Bergulirnya gugatan perdata hingga berujung pelaporan dugaan gratifikasi yang menyeret Bupati Bengkulu Utara (BU), Ir H Mian ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), imbas dari kemelut proyek DAK di Daerah Irigasi (DI) Air Palik, Desa Sengkuang Kecamatan Tanjung Agung Palik (TAP) Tahun Anggaran (TA) 2017, publik juga mengaitkan beberapa pasal korupsi yang sepertinya berimplikasi ke ancaman pidana korupsi. Selain menunggu tindak lanjut laporan dugaan gratifikasi yang sudah kadung melaju ke KPK itu. Dibincangi Radar Utara, Melyansori, pegiat anti rasuah, mengamini soal nuansa gratifikasi dalam pinjaman uang yang masih menjadi tabir dan perlu dibongkar ke publik itu, merupakan salah satu modus operandi tindakan yang masuk kategori korupsi dan diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu. Salah satunya dasarnya, kata dia, adalah pinjaman tak berbunga. Sesuai dengan salah satu materi pokok gugatan perdata oleh Hadi Sujono di Pengadilan Negeri (PN) Arga Makmur itu, yakni menuntut pengembalian uang pinjaman sebesar Rp 600 juta kepada Tergugat dalam hal ini Pemda BU cq Dinas PUPR, dinilainya sudah bisa menjadi pintu gerbang untuk mengurai dugaan korupsi terkait penyelenggaraan lelang proyek yang diduga mengait pada oknum pejabat di birokrat hingga pejabat negara itu. \"Gratifikasi sendiri dalam UU Tipikor dijelaskan dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik,\" kata dia, kemarin. Disinggung soal dukungan Penggugat yang ditegaskan lewat pengacaranya, Ruben Panggabean, SH, MH akan dukungan pelaporan dugaan gratifikasi ke KPK, terkait pinjaman uang Rp 600 juta yang tengah menjadi kemelut publik itu, Melyan turut memberikan apresiasi atas sikap itu. Ini artinya, kata dia, tabir dugaan gratifikasi itu akan jauh lebih mudah untuk dibongkar dan menjadi fakta gelap, praktik koruptif yang terus menggelayuti penyelenggaraan kegiatan anggaran di daerah. \"Itu adalah respon sosial yang sangat positif tentunya,\" timpalnya. Sekadar mengulas, praktik korupsi yang masih jarang diketahui publik terdapat beberapa jenis. Selain gratifikasi yang cukup menjadi atensi KPK, ada juga yang disebut dengan Perbuatan Curang. Jenis korupsi ini bisa dalam bentuk pemerasan. Banyak publik tidak mengetahui bahwa perbuatan curang juga termasuk tindak pidana korupsi. Semisal, pemborong proyek curang terkait dengan kecurangan proyek bangunan yang melibatkan pemborong (kontraktor), tukang ataupun toko bahan bangunan. Praktik ini bisa melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp 350 juta. Pengawas proyek yang curang, dengan membiarkan bawahannya melakukan kecurangan terkait dengan pekerjaan penyelia (mandor/supervisor) proyek yang membiarkan terjadinya kecurangan dalam proyek bangunan, pelakunya bisa dijerat Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp350 juta. Selain praktik perbuatan curang, masih ada lagi istilah Benturan Kepentingan Dalam Keadaan. Tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12 huruf i. Benturan kepentingan tersebut, juga dikenal sebagai conflict of interest. Benturan kepentingan ini terkait dengan jabatan atau kedudukan seseorang yang di satu sisi ia dihadapkan pada peluang menguntungkan dirinya sendiri, keluarganya ataupun kroni-kroninya. Negara mengindikasikan benturan kepentingan dapat terjadi dalam proyek pengadaan. Misalnya, meskipun dilakukan tender dalam proyek, pegawai negeri ikut terlibat dalam proses dengan mengikutsertakan perusahaan miliknya meskipun bukan atas namanya atau melalui perusahaan lain. Hal ini mengandung unsur korupsi dan dikategorikan korupsi yang terancam melanggar Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar. (red)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: