Tabut: Mengubah Dendam Menjadi Syi’ar
Oleh : Agustam Rachman, MAPS TABUT berasal dari kata “Tabut” yang berasal dari bahasa Arab ‘At-tabutu’ yang berarti peti yang terbuat dari kayu (Dahri, Harapandi, Tabut (Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu), 2009 : 76). Namun menurut pengertian umum di daerah Kota Bengkulu, Tabut adalah sebuah miniatur bangunan yang menyerupai pagoda atau menara masjid yang bertingkat-tingkat terbuat dari rangka kayu dan bambu, kadangkala pada bangunan tersebut ditambah pula bentuk-bentuk lain seperti burung berkepala manusia, ikan, rumah adat dan sebagainya. Bangunan ini dihiasi kertas aneka warna dan hiasan lainnya. Dalam prosesi upacara Tabut, miniatur bangunan yang disebut Tabut ini diarak dalam upacara peringatan terjadinya perang Karbala Irak pada bulan Muharram tahun 61 Hijriyah (681 M), upacara ini dalam rangka mengenang peristiwa gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib yang juga merupakan Imam Ketiga kaum Syi’ah. (Armstrong, Karen, Islam; Sejarah Singkat, Terjemahan: Fungky Kusnaendy Timur, 2002 : 97). Masyarakat Kota Bengkulu menyebutnya Tabut, sedangkan masyarakat di daerah Pariaman Sumatera Barat menyebutnya Tabuik. Perbedaan ritual Tabut di Kota Bengkulu dengan Tabuik di Pariaman Sumatera Barat hanya mengenai soal lokasi pembuangan miniatur bangunan Tabut saja, di Kota Bengkulu bangunan Tabut bukan di buang ke laut tapi dibuang ke makam Syekh Burhanudin atau Imam Senggolo sedangkan Tabuik di Pariaman ukurannya kebih kecil dan di larung atau di buang ke laut. Namun karena telah berjalan cukup lama maka upacara Tabut ini telah dipengaruhi dengan masuknya berbagai unsur budaya lokal yang berasal dari kehidupan masyarakat Bengkulu. Dan pada akhirnya upacara Tabut dengan segala ritualnya telah dianggap milik masyarakat Bengkulu, yang penyelenggaraannya selalu ditunggu setiap tahun. Di antara jenis-jenis Tabut, ada yang divisualisasikan dalam rupa kuda sembrani dengan warna badannya hitam dan kepak sayap berwarna jingga. Di leher jenjangnya tergantung perisai warna kuning keemasan. Rambut hitamnya terjuntai, menambah keelokan bagian kepala berbentuk wajah wanita cantik, lengkap dengan mahkota di atasnya. Tegak bertengger di bahu bangunan menyerupai menara masjid, kuda hitam bersayap dan berwajah wanita cantik simbol dari hewan bernama buroq yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad SAW saat melakukan tugas kenabiannya pada peristiwa Isra’ Mijraj, serta masih banyak lagi bentuk-bentuk bangunan Tabut. Tabot dan Tragedi Imam Husein Beraneka ragam bangunan dan variasi Tabut, mereka mempersiapkan sejak satu bulan menjelang prosesi agung tersebut. Pada dasarnya Tabut itu melambangkan peti mati Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW yang gugur dalam pertempuran tak seimbang ketika harus melawan ribuan laskar Ubaidillah bin Ziad Ali Bani Umayah di Padang Karbala Irak pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah (680 Masehi). Diriwayatkan bahwa Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib gugur dengan 33 tusukan tombak dan 34 luka sabetan pedang. (Kermani, Syekh Ibn Al Rais, Mega Tragedi, Kronologi Lengkap Asyura, 2008 : 227). Upacara Tabut bagi kaum Syi’ah adalah peringatan mengenang Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib yang gugur di Padang Karbala Irak. Awalnya arak-arakan atau pawai itu bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat juang para keluarga dan orang-orang Syi’ah dalam menyebarkan syi’ar Islam. Peristiwa tersebut mereka peringati setiap tahun dan akhirnya menjadi suatu tradisi bagi kaum Syi’ah di mana saja mereka berada. Dilihat dari prosesi ritual Tabut, terdapat pesan-pesan yang dimaksudkan untuk mengingat kembali kekejaman pasukan Yazid bin Mu’awiyah yang telah membunuh Imam Husein secara keji misalnya pada prosesi Arak Penja atau Mengarak Jari-jari, yang menggambarkan jari-jari tangan Imam Husein yang putus karena sabetan pedang, Arak Seroban yang menggambarkan sorban Imam Husein yang terlepas dari kepalanya yang dipenggal atau Hari Gam yang menggambarkan hari duka cita karena wafatnya Imam Husein. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa tradisi perayaan Tabut, memang bertujuan untuk melestarikan dendam atau memelihara permusuhan atas terbunuhnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib. Walaupun sejarah perayaan Asyura berawal dari perang Karbala (Irak sekarang) namun selama 34 tahun Saddam Husen berkuasa, ritual hari Asyura dilarang di Irak. Sebaliknya peringatan perayaan Asyura (Tabut) lebih berkembang di Iran yang memang mayoritas menganut Islam Syi’ah dan mereka menjadikannya sebagai ritual wajib setiap tahunnya. Prosesi perayaan Asyura (Tabut) di Iran sampai saat ini, masih diwarnai praktek-praktek yang menunjukkan sikap permusuhan itu. Pada saat perayaan Asyura mereka membawa perlengkapan perang saat pawai upacara hari Asyura berlangsung. Prosesi perayaan Asyuro yang penuh dengan praktek-praktek yang menunjukkan sikap marah atas terbunuhnya Imam Husein. Hal itu dapat dilihat dari laporan perjalanan Petro Dalawaleh seorang petualang berkebangsaan Italia yang telah dua kali menyaksikan acara peringatan Asyuro di masa Syah Abbas Pertama (996-1038 H) di Ishfahan Iran. (Iqbal, Muhammad Zafar, Kafilah Budaya, Pengaruh Persia Terhadap Kebudayaan Indonesia Terjemahan : Yusup Anas 2006 : 133). Sampai saat ini, kekerasan masih sering terjadi di negara dimana tradisi Asyura (Tabut) berasal atau dimana konflik Sunni-Syi’ah masih terjadi. Di Iran, khususnya di kawasan Iran Tenggara berbatasan dengan Pakistan pernah terjadi ledakan bom pada saat perayaan Asyura tahun 2010 yang menyebabkan lebih dari 40 orang meninggal dunia. Kawasan yang dihuni kelompok Sunni tersebut, berdasarkan situs resmi mereka, mengatakan bahwa mereka bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Di tahun yang sama di Irak, juga terjadi ledakan bom pada saat perayaan Asyura. Sebuah bom dipasang di bus para peziarah di Baghdad yang menyebabkan 10 orang meninggal dan puluhan orang lainnya luka-luka. Tabot dan Syi’ar Lain halnya dengan mayoritas masyarakat Kota Bengkulu yang sudah tidak mempersoalkan asal-usul Tabut, apakah bersumber dari paham Syi’ah atau Sunni. Dimata kelompok Syi’ah di Kota Bengkulu yang di wakili Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) perayaan Tabut merupakan bukti bahwa ajaran Syi’ah pernah berkembang di Kota Bengkulu. Walaupun mereka mengakui saat ini sangat sedikit sisanya khususnya dalam hal ajaran fiqih Syi’ah. Sementara dalam pandangan Keluarga Tabut (keturunan Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo) lebih menempatkan tradisi Tabut dalam konteks yang lebih umum tanpa dibatasi oleh sekat-sekat aliran keagamaan Syi’ah atau Sunni. Perayaan Tabut lebih dilihat sebagai media untuk penyiaran agama Islam. Tradisi Tabut merupakan warisan leluhur yang wajib untuk dilaksanakan setiap tahun tanpa harus mendalami latar-belakang tradisi ini apakah berasal dari Syi’ah atau Sunni. (**) Penulis adalah Alumni program S2 Study Konflik dan Perdamaian Univ. Kristen Duta Wacana Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: