Syrup Merah Jambu

Syrup Merah Jambu

  • Cerpen; Anita MF
HARI ini aku sedang malas kemana-mana. Maunya di kantor saja. Cuaca panas terik sekali. Tapi hari ini pernikahan sahabat karibku. Mau tidak mau aku harus keluar. Apalagi aku sudah lama tidak berjumpa dengan sahabatku itu sejak tamat dari bangku sekolah. “Winaa… akhirnya kamu datang! Ayo makan dulu, Nak,” ibu temanku menyambut ramah di pintu. “Iya, Bu terima kasih, Wina mau ketemu Rosi dulu, sudah lama tidak berjumpa,” ucapku setelah berpelukan dengan Ibunya Rosi, si pengantin wanita. “Rosi ada di kamar lagi didandani. Ayo masuk sini Ibu antar.” Ah Ibunya rosi tidak berubah sejak dulu. Selalu hangat dan ramah. Aku masuk ke kamar pengantin, bercengkerama, cekikikan dengan Rosi, melihat dia dirias oleh juru rias, hingga Ibu Rosi datang lagi ke dalam kamar mengantarkan dua piring yang berisi kue dan dua gelas minuman syrup berwarna merah jambu. Lama aku menatap gelas minuman itu. Aku terdiam. Ingatanku melayang ke belasan tahun silam.

*** Azan berkumandang merdu dari Masjid di belakang rumah. Aku malah menarik selimut Karena terlalu dingin untuk bangun. Sayup-sayup kudengar suara Ibuku bercakap-cakap dengan kakak perempuanku. Pasti Ibu sedang menceritakan masa mudanya yang sangat bahagia dulu, sambil menyeruput kopi. Ibuku seorang pedagang pekan. Setiap hari dia berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya yang ada hari-hari pasar tertentu, jaraknya sangat jauh. Semakin jauh pasar yang akan dia datangi, maka semakin pagi dia berangkat. Misalnya hari senin dia berjualan di Pasar Suban, karena pasarnya tidak terlalu jauh, maka Ibu berangkat pukul lima pagi. Hari Selasa di Desa Air Rusa, cukup jauh, maka berangkatnya pukul empat pagi. Paling jauh di Pasar Desa Sinar Gunung. Ibu bilang itu di atas gunung. Berangkat ke sana pukul 2 dinihari, lalu pulangnya pukul enam sore. Setiap pagi sebelum berangkat ibu hanya sarapan kopi. Sementara kakak perempuanku menyusun barang dagangan ke dalam karung-karung besar dan diikat dengan tali tambang. Setelah itu kakakku mengikatkannya pada bambu-bambu panjang, sementara untuk karung biasanya Ibu membayar kuli atau bahkan menyeretnya sendiri naik ke atas truk. (para pedagang pekan biasanya berangkat dengan truk atau mobil gerobak). Dan aku? Aku kebagian tugas membersihkan rumah, memasak nasi, kalau aku lambat bangun, aku tidak akan mendapatkan ongkos sekolah karena Ibu lupa meninggalkan uang jajan. Ya, tugasku paling ringan di rumah. Aku tidak tahu sejak kapan kami jadi kesusahan begini. Mungkin sejak ayah kami sudah tidak ada. Yang kutahu, ketika masih anak-anak, rumah kami selalu ramai dan didatangi orang-orang yang minta sedekah setiap hari minggu. Biasanya pada hari Minggu ibu menyumbang pakaian, beras, baju sekolah. Sekarang setiap hari 3 kali sehari rumah kami didatangi rentenir-rentenir yang berbeda. Rentenir yang baik datang dengan baik, menggedor pintu dan ucapkan salam. Sementara rentenir jahat menagih dari luar rumah sambil teriak-teriak hingga semua tetangga mendengar dan mengintip dari setiap balik jendela. “Nak, sekarang pasar mulai sepi. Harga kopi sedang turun. Orang tidak berbelanja. Kita harus jualan yang lain supaya bisa bayar hutang-hutang kita,” kata ibu sambil menyeruput kopi. Subuh itu gerimis dan mobil truk jemputan belum juga datang. Ibu terus menerus melihat keluar jendela. Matanya menerawang jauh seperti sedang memikirkan sesuatu. “Ini uang, kamu beli semua yang Ibu catat di sini. Mulai sekarang kita akan jualan peyek ikan dan sirup merah jambu,” lanjutnya sambil memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada kakak. Tiba-tiba suara ramai, itu pasti truk jemputan dan kuli langganan yang mengangkut karung. Aku bangun dan keluar dari kamar. Ibu memberikan uang ongkos sekolah untukku sebelum berangkat pergi.

*** Siang itu Ibu pulang cepat. Kebetulan pekan tempat dia berjualan dekat. Bahan-bahan yang dipesan Ibu sudah dibeli kakakku dan mulailah mereka memasak di dapur. Kakakku menganggap aku anak kesayangan. Ibu tidak pernah memberikan pekerjaan berat padaku, Ibu tak pernah mengajakku ikut jualan, aku cukup di rumah saja, bersekolah dan beres-beres. Sedangkan kakak sering bolos sekolah karena sering diajak Ibu berjualan. Akupun menganggap kakakku yang anak kesayangan Ibu. Karena Ibu hanya memberikan ilmu berdagangnya pada kakakku saja. Aku ingin diajarkan berjualan, diajar memasak. Dan akupun ingin ikut jualan karena aku malas masuk sekolah. Kami saling iri, Karena itu aku dan kakak kadang-kadang sering bertengkar. “Wina, ini ibu sudah buatkan peyek. Tugasmu antar peyek-peyek ini ke warung ya, harga dari kita per-buahnya 500 rupiah saja. Seminggu sekali kamu ambil sisa peyek yang tidak laku,” perintah ibu kepadaku sambil menyerahkan toples besar berisi peyek. “Itu apa bu?” tanyaku ketika melihat wadah besar berisi air berwarna merah jambu. “Oh itu sirup, kita akan jual di pekan jumat,” jawab ibu sambil mengaduk gula (kebetulan pekan jumat dimulai jam 2 siang). Aku melihat beberapa bungkus pewarna makanan dan gula terletak di sana. “Kenapa tidak pakai sirup yang sudah jadi saja Bu? Kan lebih enak. Lalu kita tambahkan selasih supaya cantik,” usulku pada Ibu. “Sudahlah nak kita tidak ada modal lagi. Ini saja sudah habis. Mudah-mudahan besok dagangan kita laku supaya bisa bayar hutang,” harapnya. Tok.. tok.. tok bunyi pintu di depan. Itu rentenir baik datang. Ibu mengambil uang yang sudah dia persiapkan untuk membayar angsuran hutangnya dan segera ia berikan kepada rentenir itu. Hari ini rentenir jahat tidak datang. Syukurlah, uangnya bisa kami belikan makanan malam ini.

*** Siang itu sepulang sekolah seperti biasa kakak mempersiapkan barang-barang dagangan Ibu yang akan berangkat bersama kakak usai waktu shalat Jumat. Untuk tempat berjualan kakak pun sudah ada. Ibu berjualan di dalam los pasar, sedangkan kakak berjualan di pinggir jalan, tepatnya di halaman rumah warga yang berada di pinggir jalan raya. Mereka berjualan sampai jam 5 sore, dan pulang dengan bahagia karena dagangan Ibu dan syrup dagangan kakak laris terjual. Beberapa Jumat kakak berjualan, dia semakin bersemangat, akupun juga demikian. Peyek yang dititipkan di warung juga ludes terjual. Hingga hari itu pun tiba. Si pemilik halaman tempat kakakku berjualan mengatakan bahwa hari itu adalah hari terakhir kakakku berjualan di sana. Rupanya dia mau jualan minuman juga seperti kakakku. Hari itu mungkin jadi hari tersedih bagi keluarga kami. Hari itu dagangan ibu tidak laku satupun. Semua uang sudah dia setorkan rentenir di hari sebelumnya. Ibu tak lagi memegang uang. Hujan dengan derasnya mengguyur, tak satupun orang berbelanja kecuali membeli sayur mayur. Sementara kakakku berteduh di bawah payung, dagangannya juga tak berkurang sedikitpun. Dan aku tak kalah berdebarnya di rumah. Aku sudah menutup semua horden dan menggembok pagar. Seolah-olah di rumah tidak ada orang. Tapi sepertinya trik itu sudah diketahui rentenir jahat. Jadi dia berteriak teriak di depan rumah menyuruhku keluar, membuka pintu. Mengancam akan menghancurkan pintu. Mencaci maki dan ucapan sumpah serapah yang sangat buruk. Sebenarnya pokok hutang ibu sudah lama lunas. Yang belum lunas adalah bunga cucu cicit dari hutang tersebut. Aku mengurung diriku di dalam kamar dan menutup kupingku dengan bantal dan berharap Ibu segera pulang. Kalau rentenir itu mendobrak masuk, aku akan bersembunyi di kolong kasur atau lemari. Bahkan aku berusaha menahan nafasku agar rentenir tak tahu kalau aku ada di dalam rumah. Aku mematikan lampu kamar, meringkuk di kasur seperti udang, menutup telinga, sementara air mataku tak berhenti mengalir. Sungguh itu hari paling menakutkan dalam hidupku.

*** Sudah jam 5 sore, hujan sudah berhenti. Si rentenir jahat sudah pergi. Aku gelisah kenapa ibu dan kakak belum juga tiba. Hingga malam tiba. Ketukan pintu yang kutunggu-tunggu pun terdengar. Aku segera berlari sambil menangis. Aku tidak sabar ingin mengadukan semua pada Ibu. Namun ketika kubuka pintu, kudapati Ibu dan kakak dengan baju yang setengah kering, mata mereka sembab. Kulihat kakak membawa wadah sirup merah jambu yang masih utuh. “Hari ini dagangan tidak laku sama sekali. Bahkan kami tidak ada ongkos untuk pulang. Jadi kami pulang jalan kaki. Karung dagangan Ibu titipkan di mobil yang akan berangkat ke pekan Sabtu besok,” kata Ibu sambil mengganti pakaian. Aku melihat ibu berusaha menahan tangisnya. Dan seolah-olah itu adalah hal yang biasa. Sebaliknya, kakakku terus saja menangis. Kakinya sakit karena harus berjalan cukup jauh. Kupikir tidak perlu lagi menambah derita keluarga ini dengan menceritakan rentenir jahat itu.

*** “Win, Kok melamun,” tepukan rosi di pundak mengagetkanku. “Oh ya, ada apa Ros?” “Aku sudah 3 kali bertanya. Gimana make-upnya? Cantik nggak sih?” tanya Rosi merasa kurang percaya diri. Aku melihat rosi sangat cantik. Wajahnya berbinar dengan kebaya putih yang dipakainya. “Kamu cantik banget. Kamu pengantin yang saaangatt cantik. Semoga kamu berbahagia,\" kataku sambil memeluknya. “Bisa aja, ya sudah ayo dicicipi kue sama minumnya,\" kata rosi sambil menyodorkan kue. Aku mengambil sepotong kue itu, sangat lezat. Kemudian aku mengambil gelas berisi sirup merah jambu itu. Kuminum hingga habis seraya bersyukur dalam hati, untuk semua masa sulit yang telah berlalu. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: