Kuda Lumping Kian Tergerus Hiburan Kekinian

Kuda Lumping Kian Tergerus Hiburan Kekinian

SIAPA tak kenal Kesenian Kuda Lumping? Kesenian ini pernah berjaya pada masanya. Bahkan anak-anak sangat suka dengan tarian dan gaya para pemainnya yang bahkan bukan rahasia lagi jika mereka menggunakan kekuatan magis dalam bermain. Sayangnya, di masa kini, kesenian ini kian tergusur hiburan-hiburan yang lebih kekinian. Lalu bagaimana kondisi kelompok-kelompok Kesenian Kuda Lumping di Bengkulu Utara? Berikut liputannya; M YUSUF HHA - ARGA MAKMUR Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan lainnya dengan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau sejenisnya yang digelung atau dikepang dan biasanya diiringi dengan alat musik tradisional gamelan dan kendang, sehingga pada masyarakat Jawa sering juga disebut sebagai Jaran Kepang. Di Desa Karang Suci, RT 8 Dusun Tegal Sari, keragaman budaya telah menjadi salah satu kekuatan tersendiri bagi warganya, ini dibuktikan dengan masih eksisnya Kesenian Kuda Lumping yang notabene kesenian masyarakat jawa. Kuda Lumping atau Jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda tiruan. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian Kuda Lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran Tari Reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, tarian ini juga diwariskan pada generasi yang menetap di Sumatera dan di beberapa daerah lainnya. Begitu pula kesenian kuda lumping yang masih terus dilestarikan di Desa Karang Suci tepatnya di RT 8 Dusun Tegal Sari. Kelompok kesenian ini diberi nama \"NGUDI BUDOYO\", yang bila diartikan NGUDI yaitu pekerja keras untuk terus melestarikan budaya, sedangkan BUDOYO artinya budaya. Awalnya sebelum kelompok kesenian \"Ngudi Budoyo\" ada di Dusun Tegal Sari sudah terbentuk kelompok kesenian yang bernama \"Tunas Baru\" pada tahun 1975 yang waktu itu berupa kesenian Reog. Kemudian seiring waktu berjalan berubah nama menjadi \"MEKAR SARI\" dan terakhir pada tahun 1982 berubah nama menjadi \"NGUDI BUDOYO\". \"Kala itu, kelompok ini diketuai oleh Harjo Suwito (Alm), Ia-lah yang membawa kesenian Kuda Lumping pada waktu itu, berkat beliaulah saat ini peminatnya tidak hanya disukai dari kalangan muda tetapi sampai kalangan lanjut usia,\" ujar Girin, selaku salah satu sesepuh Kelompok Ngudi Budoyo. Sekretaris Kelompok Kesenian \"NGUDI BUDOYO\", Heri saat ditemui di rumahnya kemarin (2/3) mengatakan, saat ini kesenian kuda lumping masih diminati oleh banyak kalangan. \"Biasanya kami sering tampil ketika ada acara hajatan, HUT RI, Lebaran Idul Fitri dan perayaan besar lainnya. Untuk tarif sendiri sekali tampil untuk wilayah Kota Argamakmur bekisar Rp 1,5 juta per tampil. Dari hasil di setiap penampilannya biasanya sebagian digunakan untuk makan-makan sesama anggota dan sisanya digunakan untuk perawatan alat perlengkapan kesenian kuda lumping,\" bebernya. Menyadari keberadaannya yang semakin terdegradasi oleh perkembangan hiburan yang semakin berkembang, kelompok ini pun tetap berupaya mempertahankan keberadaannya dengan melakukan upaya regenerasi. \"Upaya untuk regenerasi sendiri biasanya kami selaku orang tua selalu mengenalkan kepada anak-anak betapa pentingnya menjaga kesenian kuda lumping ini dan semua itu harus disesuaikan dengan selera anak juga, sehingga nanti diharapkan dapat menyukai dan mendalami seni kuda lumping ini. Sebenarnya kami menaruh harapan pada pemerintah agar dapat merangkul para kelompok seni yang ada, supaya kedepannya setiap kesenian yang ada di Bengkulu Utara dapat terus ada sampai ke masa yang akan datang,\" pungkasnya.

  • Bukan Tempat Hidup
TERPISAH, kesenian kuda lumping ini juga telah dilestarikan oleh kelompok seni \"Madio Kuronggo Seto\" yang diketuai oleh Tajo Wiyono, yang berlokasi di RT 19 Karang Indah, Kelurahan Purwodadi. Diceritakan Tajo Wiyono, awalnya mereka ingin kembali menghidupkan berbagai kesenian tradisi leluhur. Kelompok seni ini sudah ada sejak tahun 2002, awalnya dulu bernama \"Tri Madio Kuronggo Seto\" yang diartikan Tri yaitu Tiga, Madio yaitu Menengah, Kuronggo yaitu Kuda dan Seto yaitu Putih. Penamaan ini tak sembarangan, menurutnya ini lantaran keberadaannya yang didukung oleh 3 suku besar di Arga Makmur, Suku Rejang, Jawa dan Padang. \"Seiring waktu sekarang sudah semakin kompleks dan kami mengubahnya hanya menjadi Madio Kuronggo Seto. Itu saja agar maknanya lebih luas dengan tidak melupakan sejarah,\" bebernya. Sementara, Sekretaris Madio Kuronggo Seto, Sanusi, saat ditemui d irumahnya Jumat (2/3) mengatakan, saat ini sudah ada 68 anggota. Bahkan menurutnya peminat kesenian ini masih cukup tinggi. Di rentang usia 13 sampai dengan 70 tahun pun masih banyak yang menonton. Disinggung soal prospek ekonomi, Sanusi menyebut kesenian ini dibangun bukan berorientasikan uang, namun lebih kepada pelestarian budaya. Hal inilah yang membuat kesenian ini pun bukan tempat untuk menggantungkan hidup. \"Ya di sini adalah sarana menyalurkan hobi dan pelestarian budaya. Kalau kerjaan pokok tetap yang lain. Dalam setahun biasanya 8 kali tampil baik diacara pesta maupun acara besar lainnya. Kalau untuk tarif dalam kota sebesar Rp 1,5 juta,\" lanjutnya. Sama halnya dengan Ngudi Budoyo, Kelompok Seni Madio Kuronggo Seto pun terus melakukan upaya regenerasi dan upaya-upaya untuk mendapatkan bantuan peralatan untuk tampil. \"Kami terus mencoba mengenalkannya pada anak muda. Namun kami juga berharap, pemerintah lebih terbuka kepada kami dalam hal pemberian bantuan, baik itu perlengkapan maupun perawatan peralatan yang terkadang membutuhkan biaya sangat besar, sementara kami tampil hanya beberapa kali saja dalam setahun,\" demikian Sanusi. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: