RADARUTARA.ID- Pasar valuta asing Asia mengalami gejolak signifikan menyusul pengumuman Federal Reserve (The Fed) tentang proyeksi suku bunga tahun 2025.
Data Refinitiv per 19 Desember 2024 pukul 13:49 WIB menunjukkan rupiah mengalami tekanan paling berat di kawasan Asia dengan pelemahan 1,26%.
Diikuti ringgit Malaysia yang melemah 0,78% dan yen Jepang yang terkoreksi 0,7%.
Di tengah tren pelemahan regional, won Korea Selatan justru mencatatkan penguatan tipis 0,02%.
Sentimen negatif terhadap mata uang Asia ini dipicu oleh pernyataan The Fed yang mengindikasikan perubahan strategi penurunan suku bunga.
Berdasarkan dot plot terbaru, bank sentral AS hanya merencanakan dua kali pemangkasan suku bunga di 2025, lebih konservatif dibandingkan proyeksi September yang menargetkan pemotongan 100 basis poin.
Jerome Powell, Ketua The Fed, dalam konferensi pers menyampaikan bahwa setelah menurunkan suku bunga satu poin persentase dari level tertinggi, kebijakan moneter AS kini lebih longgar.
Kondisi ini mendorong The Fed untuk lebih berhati-hati dalam mempertimbangkan penyesuaian suku bunga selanjutnya.
Rencana The Fed berlanjut dengan dua pemangkasan di tahun 2026 dan satu kali di 2027.
Untuk jangka panjang, suku bunga "netral" ditetapkan pada level 3%, naik 0,1 poin persentase dari proyeksi September, mencerminkan tren kenaikan bertahap sepanjang tahun.
Dampak dari kebijakan ini langsung terasa di pasar valuta asing global. Indeks dolar AS (DXY) melesat hingga menyentuh level 108, pencapaian tertinggi dalam dua tahun terakhir sejak November 2022.
Penguatan DXY yang signifikan ini secara langsung memberikan tekanan pada mata uang yang diperdagangkan berpasangan dengan dolar AS.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana kebijakan moneter AS tetap menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pergerakan mata uang global, khususnya di kawasan Asia.
Pelemahan rupiah yang paling dalam di antara mata uang regional mencerminkan kerentanan pasar keuangan Indonesia terhadap perubahan kebijakan The Fed.