Sebelum menjelaskan, terlebih dahulu saya akan menjelaskan sebagai berikut.
Suatu transaksi jual beli harus didasari dengan adanya perjanjian yang dilandasi dengan adanya persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri dari adanya para pihak, adanya kesepakatan, adanya hal diperjanjikan dan hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Para pihak dan persetujuan adalah syarat subjektif yang harus dipenuhi, apabila tidak maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernitigbaar). Tidak adanya persetujuan (consent) dalam perjanjian jual beli tanah mengakibatkan perjanjian peralihan hak atas tanah menjadi tidak sah dan sekaligus akan bertentangan dengan syarat objektif berupa adanya hal tertentu yang dilandasi dengan sesuatu yang sah secara hukum.
Ketiadaan persetujuan berkontribusi atas pemenuhan syarat situasi yang sah secara hukum. Sebab ketiadaan persetujuan menjadi penghapus syarat objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (3) dan (4) KUHPerdata. Oleh sebab itu, peralihan tanah harus ada persetujuan sebagai alasan pembenar peralihan hak atas tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum landasan hukumnya terdapat dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Jo BAB VII Pasal 123 UU Nomor 11 Tahun 2020 yang telah direvisi dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022.
Intinya, tanah masyarakat yang berfungsi sosial dapat beralih untuk kepentingan umum setelah adanya persetujuan pemilik tanah dalam forum bentukan pemerintah guna memusyawarahkan penetapan lokasi (Penlok) dan adanya kesepakatan bentuk ganti kerugian dapat diganti rugi oleh pemerintah melalui Panitia Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dengan pilihan bentuk:
a. Mendapatkan uang
b. Tanah pengganti
c. Pemukiman Kembali atau
d. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Atas dasar, itu maka kita dapat menyimpulkan pengambilan hak atas tanah meskipun untuk kepentingan umum harus dilandasi dengan adanya persetujuan (consent) pemilik hak sebagai manifestasi keridhaan pemilik untuk melepas haknya untuk kepentingan negara sebagai kehendak yang lebih luas bukan untuk kepentingan dirinya pribadi (individual).
Pengadaan tanah untuk pembangunan perumahan oleh pengembang (developer) tidak sama dengan mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Perbedaan yang mendasar adalah, ruang persetujuan sebagai kesepakatan pada peralihan hak atas tanah adat lebih besar dibanding dengan peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Peralihan tanah untuk kepentingan umum akan bersinggungan dengan fungsi sosial yang ada atas suatu bidang tanah untuk diserahkan untuk kepentingan masyarakat umum.
Peralihan hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat untuk kepentingan pengembangan perumahan (privat) harus melalui perjanjian jual beli tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata tentang jual beli yang bunyinya adalah perjanjian antara penjual dan pembeli di mana penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak miliknya atas suatu barang kepada pembeli, dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar harga barang itu. Selain Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli ini diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan:
"Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang. dimaksudkan untuk memindahkan hak milik," jawab, Advokat Dr (C) Alvon Kurnia Palma, SH, MH.*