RADARUTARA.ID - Hingga saat ini, Indonesia masih belum bisa keluar dari krisis ekonomi. Demi menutupi anggaran, terpaksa Indonesia terus meminjam ke negara-negara lain, sehingga sampai sekarang ini utang negara sudah mencapai sekitar 1.859,43 triliun atau 202,55 miliar dollar AS.
Kita semua tahu bahwa di antara banyaknya uang utang tersebut dikorup oleh para pejabat. Pemerintah sebagai pelaksana wewenang negara adalah wakil kita, atau yang memegang mandat untuk mengurus keperluan rakyat serta melindungi hak-haknya.
Kemaslahatan rakyat yautu acuan utama semua kebijakan dan kerja negara–pemerintah. Berhubungan dengan beban utang, ada beberapa hadits Nabi Muhammad SAW yang harus diperhatikan:
Yang pertama menjelaskan bahwa beliau tidak berkenan menshalatkan jenazah yang masih memilkmk utang (HR al-Bukhari).
Yang Kedua bahwasannya Pahala ahli kubur akan ditangguhkan hingga utangnya dilunasi. (HR. Turmudzi).
BACA JUGA:Dana Desa Harus Dikelola Sesuai Azas dan Aturan, Bupati: Kades Jangan Merangkap Jadi Bendahara!
Yang Ketiga bahwa ketika hari kiamat nanti utang itu sudah dibayar dengan pahala kebaikan, kalau pahalanya sudah habis sementara penagih masih antri, maka dosa piutang akan dipikul kepada yang memiliki utang (HR al-Bukhari).
Yang Keempat bahwa Allah swt akan membebaskan segala dosa orang yang mati syahid, kecuali masalah utang (HR Muslim, Riyadhush Shalihin, dalam "Kitab Jihad").
Dengan begitu, apa hubungannya dengan utang negara? apakah menjadi utang pribadi bagi masyarakat Indonesia? Lalu siapakah yang berkewajiban membayanya? Terkait dengan hal ini, apa yang dijelaskan oleh Izuddin bin Abdis Salam setidaknya bisa diambil dasar bahwa tanggungjawab ada pada negara, jika utang tersebut digunakan demi kemaslahatan rakyat banyak.
BACA JUGA:10 Jenis Tanaman yang Cocok untuk Aviary Mini, Agar Terlihat Alami Seperti di Hutan
Tetapi terhadap utang negara yang dikorup oleh para pejabat dan kroninya, maka negara membayarnya dengan dana yang ditarik kembali dari orang-orang yang mengkorup uang tersebut. Seperti diisyaratkan oleh al-Fatawa.
Yang Artinya: Adapun utang seseorang yang meninggal dunia, kalai yang bersangkutan mempunyai udzur dalam menunda pelunasan utangnya hingga meninggal dunia, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat muslimin bahwa tidak maksiat dan tidak menanggung dosa. Kalau ia bermaksiat dalam menunda pelunasan utangnya, maka ia berdosa karena penundaan tersebut.
Kalau ia berutang untuk melakukan perbuatan maksiat, maka ia berdosa dengan dua maksiat, dan kalau ia berutang untuk sesuatu yang wajib atau mubah, dan ia tidak teledor dalam menunda pembayarannya maka ia tidak akan berdosa.*