RADARUTARA.ID - Jamu sudah la a menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia dari zaman dahulu kala. Ada banyak bukti artefak dan cerita turun menurun yang menjadi bukti nyata. Mak dari itu bukan hal yang tak mungkin jika di zaman penjajahan Belanda, Jamu juga sudah ada bahkan menjadi perhatian bagi ilmuwan Belanda.
Penelitian tentang jamu atau pengobatan tradisional mulai dilakukan lantaran pemerintah kolonial Belanda mengalami kesulitan tentang penyediaan obat-obatan kimia.
Berawal dari semua obat-obatan dikirim dari Belanda. Namun, karena jarak yang jauh membuat perjalanan memakan waktu yang panjang sehingga banyak obat-obatan kadaluarsa. Ada pula alasan lain lantaran belum adanya teknologi pengemasan yang lebih modern sehingga obat-obatan sering mengalami kerusakan ketika tiba di tempat tujuan.
BACA JUGA:Trending di Tiktok dan YouTube, Ini Dia Lirik Lagu Dumes - Wawes feat. Guyon Waton
Berdasarkan penuturan sejarawan Fadly Rahman, karena alasan di atas, banyak temuan medis mengenai khasiat jamu yang membuat ilmuwan kolonial Belanda semakin tertarik.
Bahkan muncul adanya aturan pemerintah kolonial untuk membudidayakan tanaman obat di negeri jajahan, salah satu diantaranya di Hindia Belanda.
Salah satu ilmuwan Belanda pada zaman kolonial yang meneliti jamu pengobatan herbal Indonesia bernama Jacobus Bontius. Berdasarkan keterangan Fadly, Jacobus menggunakan jamu untuk mengobati Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen.
Selain Jacobus, ada nama-nama lain yang ikut meneliti jamu pada zaman kolonial Belanda. Salah satunya yakni Freidrich August Carl Waitz. Friedrich adalah seorang dokter yang membuktikan khasiat jamu daun sirih.
Dari hasil penelitiannya terbukti bahwa daun sirih mengandung agen narkotika yang berfungsi untuk mengobati batuk menahun. Bahkan, dia juga menguji khasiat air rebusan kulit kayu sintok sebagai obat untuk masalah pencernaan.
Bukti lain dari keseriusan pemerintah kolonial dalam meneliti jamu yaitu terbentuknya The Batavian Society of Arts and Sciences di tahun 1778.*