RADARUTARA.ID - Sebagian besar masyarakat Jawa memandang bahwa melaksanakan acara hajatan di bulan Suro atau Muharram merupakan sesuatu yang dilarang. Begitu pula menggelar pernikahan atau, pesta jenis lainnya ketika di bulan Suro.
Lantas mengapa demikian? Dijelaskan, R Gunasasmita, menurut Kitab Primbon Jawa Serbaguna melarang agar tidak melaksanakan pernikahan dan hajatan apapun di bulan Suro.
Jika dilanggar dan tetap menggelar hajatan di bulan Suro, maka dikhawatirkan akan mengalami bala, musibah dan kesukaran hidup. Bahkan, biduk rumah tangganya seseorang akan mengalami pertengkaran.
Di sisi lain, penjelasan yang tak jauh berbeda juga terungkap pada Kitab Primbon Betaljemur Adammakna.
"Jangan dilanggar, karena kalau dilanggar akan mendapat kesukaran dan selalu bertengkar," tulis pada Betaljemur Adammakna.
Kendati demikian, kedua kitab Primbon Jawa ini tak menyebutkan secara detail terkait larangan menggelar hajatan di bulan Suro.
Jelasnya, masyarakat Jawa menganggap bulan Suro sebagai bulan yang keramat. Bahkan di satu sisi, sejumlah pihak juga menganggap. Bahwa bulan Suro dianggap bulan sakral atau wingit (memiliki kekuatan gaib).
Salah satu alasannya adalah, karena pada saat bulan Suro terjadi peristiwa yang menyedihkan dan membuat masyarakat Islam berduka.
Peristiwa yang dimaksud diantaranya, tragedi pembantaian terhadap Sayyidina Husein dan para pengikutnya oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Peristiwa tersebut terjadi di Padang Karbala pada 10 Muharram atau hari Asyura.
Karena alasan itulah, acapkali menjadi pertimbangan masyarakat Jawa untuk tidak menggelar hajatan di bulan Suro. Mengingat, bulan Suro adalah bulan berduka.
Meki begitu, Islam tidak melarang untuk mengelar hajaran di bulan Suro. Khususnya, pernikahan atau pesta apapun yang dilaksanakan pada bulan Muharram. Justru bulan Muharram termasuk bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT. *