RADARUTARA.ID- Beberapa waktu lalu sempat viral sebuah video di akun media sosial, yang memperlihatkan uang kertas dengan nominal Rp 2.000 dan Rp 100.000, namun berbentuk lembaran.
Dan tak pelak banyak memancing komentar warganet, dari dugaan uang palsu, perusakan uang dan lain sebagainya, padahal itu merupakan uang asli dan resmi untuk digunakan.
Seperti yang diketahui, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus (URK) berupa uang rupiah kertas bersambung (uncut banknotes) sebagai alat pembayaran yang sah.
Penerbitan uang bersambung ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta upaya dalam mengembangkan kegiatan numismatika di Indonesia.
Dilansir dari laman BI, masyarakat dapat memperoleh URK dengan mekanisme penukaran yaitu URK yang mempunyai nilai sama dengan nominal dan mekanisme pembelian yaitu URK yang mempunyai nilai jual lebih tinggi dari nilai nominal.
BACA JUGA:Nggak Harus Tampan dan Mapan, Ini 8 Kriteria Pria Idaman Para Janda
Untuk memesan dan menukar uang bersambung bisa mengunjungi tautan pintar.bi.go.id. Masyarakat diminta untuk mengisi data pemesanan uang bersambung seperti NIK-KTP, nama, nomor telepon dan alamat email.
Biaya untuk penukaran dan pembelian uang bersambung akan dikenai tarif berbeda sesuai dengan nominal yang akan ditukar.
BI menerbitkan uang bersambung dalam dua lembar dan empat lembar untuk pecahan Rp100.000, Rp50.000, Rp20.000, Rp10.000, Rp5.000, Rp2.000 dan Rp1.000 Tahun Emisi (TE) 2016.
Untuk pembelian uang bersambung dapat dilakukan melalui loket kas kantor BI setiap Senin pukul 08.30-11.30. Sementara untuk jadwal layanan kas penjualan URK TE 2016 dapat menghubungi Kantor Perwakilan Wilayah BI terdekat.
Masyarakat diminta untuk membawa KTP asli dan uang yang pas saat membeli uang bersambung.
Dalam penjualan uang bersambung, masyarakat akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada 29 Oktober 2021 di mana Pemerintah RI telah mengesahkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Dengan terbitnya UU HPP tersebut, tarif PPN Indonesia akan mengalami penyesuaian dari semula sebesar 10 persen menjadi sebesar 11 persen," sebagaimana dilansir dari laman BI.