RADARUTARA.ID- Sebentar lagi bulan Dzulhijah akan segera tiba. Artinya, umat muslim akan bersiap untuk melaksanakan ibadah Kurban dan hari Raya Idul Adha.
Ibadah kurban memiliki nilai pahala besar. Tak hanya, itu berkurban juga memiliki syarat tertentu. Diantaranya mengenai kebolehan memotong kuku dan rambut bagi orang yang akan berkurban. Hal tersebut tidak hanya dipe debatkan kali ini saja, tapi juga sudah didiskusikan oleh ulama terdahulu.
Dilansir dari laman NU Online, persyaratan tersebut berawal dari perbedaan ulama dalam memahami hadist riwayat Ummu Salamah yang terdokumentasi dalam banyak kitab hadist. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW berkata:
Artinya: “Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban,” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Pendapat Pertama
Pendapat pertama mengatakan hadis di atas bermaksud larangan Nabi untuk tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berkurban. Larangan tersebut dimulai dari sejak awal sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Artinya, ia diperbolehkan memotong kuku dan rambutnya setelah selesai kurban.
Kendati kelompok pertama sepakat akan pemaknaan hadis ini ditujukan untuk orang berkurban, namun mereka berbeda pendapat terkait maksud dan implikasi larangan Nabi tersebut: apakah berimplikasi pada kerahaman? Makruh? Atau hanya mubah saja? Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyimpulkan.
Artinya, Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya.
Itulah pendapat ulama terkait kebolehan potong kuku dan rambut pada saat berkurban. Ada ulama menganjurkan, membolehkan, bahkan mengharamkan. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, hikmah dari kesunahan ini ialah agar seluruh tubuh di akhirat kelak diselamatkan dari api neraka. Sebab sebagaimana diketahui, ibadah kurban dapat menyelamatkan orang dari siksa api neraka.
Pendapat Kedua
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dilarang itu bukan memangkas rambut orang yang berkurban ataupun memotong kukunya, tetapi memotong bulu dan kuku hewan kurban. Alasannya, karena bulu, kuku, dan kulit hewan kurban tersebut akan menjadi saksi di hari akhirat kelak.
Pandangan ini sebetulnya tidak populer dalam kitab fikih, terutama fikih klasik. Maka dari itu, Mula Al-Qari menyebut ini pendapat gharib (aneh/unik/asing). Ia mengatakan dalam Mirqatul Mafatih.
Artinya, “Ada pendapat gharib dari Ibnul Malak. Menurutnya, hadits tersebut berarti tidak boleh mengambil (memotong) bulu dan kuku hewan yang dikurbankan.”
Pendapat yang dikatakan asing oleh Mula Al-Qari ini, belakangan dikuatkan oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub. Dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, Kiai Ali mengatakan, hadis ini perlu dikomparasikan dengan hadits lain. Pemahaman matan hadis tidak akan sempurna jika hanya memahami satu hadits. Sebab itu, almarhum sering menegaskan Al-hadits yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (hadits saling menafsirkan antara satu dengan lainnya).
Kedua pendapat di atas merupakan upaya masing-masing ulama memahami dalil. Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa konteks hadits di atas tertuju bagi orang yang berkurban saja, bukan untuk semua orang. Bagi orang yang tidak berkurban, tidak ada soal jika ia akan memangkas rambut atau memotong kukunya.*