RADARUTARA.ID- Shalat merupakan ibadah wajib yang dilaksanakan oleh setiap umat Islam yang beriman, tentunya dalam salat diwajibkan untuk menggunakan pakaian yang bersih wangi serta menutup aurat.
Namun muncul sebuah pertanyaan apakah seorang laki-laki boleh melaksanakan salat dengan telanjang dada? Harus begitulah dalam artikel ini kita akan membahas secara mendalam terkait hukum tersebut.
Penjelasan itu terdapat dalam sebuah buku yang berjudul Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam buku tersebut terdapat sebuah bab yang menjelaskan tentang syarat-syarat salat. Diantaranya terdapat hadis yang berbunyi:
– وَعَنْ جَابِرٍ ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ ( قَالَ لَهُ : { إِنْ كَانَ اَلثَّوْبُ وَاسِعًا فَالْتَحِفْ بِهِ” } – يَعْنِي : فِي اَلصَّلَاةِ – وَلِمُسْلِمٍ : { “فَخَالِفْ بَيْنَ طَرَفَيْهِ – وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ ” } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Apabila kainmu itu lebar, maka berselimutlah dengannya, yakni di dalam shalat.” Dalam riwayat Muslim, “Maka selempangkanlah di antara dua ujungnya dan apabila sempit, maka bersarunglah dengannya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 361 dan Muslim, no. 3010]
Dalam hadis lain juga dijelaskan yang berbunyi:
وَلَهُمَا مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ ( { لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي اَلثَّوْبِ اَلْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ }Diriwayatkan pula oleh keduanya, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah seseorang di antara kamu shalat dengan memakai selembar kain yang sebagian dari kain itu tidak dapat ditaruh di atas bahunya.” [HR. Bukhari, no. 359 dan Muslim, no. 516]
Faedah hadits
1. Istilah “tsaub” dalam hadits adalah izar (kain bawah) atau rida’ (pakaian atas), potongan kain yang disesuaikan dengan ukuran badan. Beda dengan gamis yang merupakan pakaian yang memiliki lengan baju dan menggantikan sekaligus pakaian atas dan bawah, karena menutup atas dan bawah secara bersamaan.
2. Kalimat “Faltahif bihi”, adalah tutuplah badan sebagaimana memakai izar (kain bawah) dan rida’ (kain atas). Berarti di sini perintahnya jika memiliki pakaian yang dapat menutupi atas dan bawah secara sempurna, itulah yang dipakai. Lalu disebutkan “wa in kaana dhoyyiqon fattazir bihi”, yaitu jika sempit, cukup menutup bawah saja (sebagai izar).
3. Sedangkan pada hadits disebutkan “laysa ‘alaa ‘aatikihi minhu syai-un”, yaitu yang sebagian dari kain itu tidak dapat ditaruh di atas bahunya, yang dimaksud adalah perintah menutup bagian pundak, atau disuruh memakai rida’ (kain atas).
4. Untuk laki-laki, jika ada pakaian bisa menutupi atas dan bawah sekaligus, maka orang yang shalat hendaklah menutupi atas dan bawah, yaitu menutup kedua pundak hingga lutut, karena seperti itu lebih sempurna dalam menutup aurat.
5. Untuk laki-laki, jika hanya memiliki kain yang terbatas, maka yang ditutup adalah aurat yang wajib yaitu antara pusar dan lutut.
6. Hadits ini jadi dalil bolehnya shalat dengan kain terbatas hanya satu pakaian saja. Ibnu Rusyd mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa seorang laki-laki sah memakai pakaian dalam shalat dengan satu pakaian saja.” (Bidayah Al-Mujtahid, 1:286; Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:331).
7. Hadits ini jadi dalil wajibnya menutup aurat dalam shalat. Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, sebagaimana batasan ini disepakati oleh ulama empat madzhab dan inilah pendapat kebanyakan fuqaha. Pusar dan lutut sendiri bukan termasuk aurat menurut jumhur ulama (Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hambali).
8. Hukum menutup pundak bagi laki-laki ada beda pendapat di kalangan para ulama. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya wajib jika mampu sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, sekelompok ulama salaf, dipilih Imam Al-Bukhari, dan pilihan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz.