RADARUTARA.ID - Problem dunia digital menjadi salah satu perhatian banyak pihak. Pasalnya, saat ini hampir semua generasi mengejar viralitas di media sosial (medsos).
Bahkan, tak sedikit anak-anak dan kaum muda yang menjadikan viral di media sosial sebagai dijadikan landasan eksistensi diri.
Hal ini diungkap Dr Fahhrudin Faiz pengasuh Komunitas Ngaji Filsafat dalam perbincangannya dengan Gita Wirjawan, seorang pengusaha dan mantan Menteri Perdagangan di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di channel Youtube Gita Wirjawan.
Pembahasan ini muncul setelah Dr Fahhrudin Faiz atau yang akrab disapa Pak Faiz menyampaikan adanya siswa SMP yang bertanya pada dirinya tentang wahdatul wujud.
Padahal, menurut Pak Faiz, ini belum waktunya siswa SMP untuk sampai pada tataran itu. Meski demikian, era keterbukaan informasi yang dimuat diberbagai platform digital, baik itu facebook, youtube, instagram dan lain-lain membuat semua kalangan bisa mengakses informasi, meski terkadang belum waktunya orang tersebut mengonsumsi informasi tersebut.
Apalagi ditambah dengan bentuk-bentuk pencitraan di media sosial yang saat ini bisa dibentuk sedemikian rupa. Sehingga orang sulit membedakan, mana yang benar-benar baik, dan mana yang sebenarnya tidak baik.
"Ini kita belum membekali anak-anak dengan kesadaran-kesadaran kritis. Kalau istilah Paulo Freire itu, kesadaran kita masih kesadaran magis. Jadi yang ada yang kita ikuti, pokoknya viral, kita ikuti. Ini kesadaran ikut-ikutan. Dan menurut saya itu bahaya," ungkapnya.
Menanggapi hal ini, Gita Wirjawan mengaku takut, jika nantinya, cara berpikir anak muda akan terkontaminasi dengan cara berpikir, bahwa untuk menjadi pemimpin atau mencapai cita-cita, yang penting bisa joget (TikTok).
"Bukannya melakukan intelektualisasi, sebab apa. Yang jago joget itu yang viral. Jika kita sepakat bahwa viral itu bijaksana, sehat dan baik untuk masa depan, ya tentu tidak perlu kita berdiskusi lagi. Namun jika viral itu belum tentu baik, ini harus diperbaiki cara berpikirnya," ungkapnya.
Untuk menangkis aksi-aksi yang mengikis cara berpikir kritis dari media sosial, menurut Pak Faiz dengan membanjiri konten-konten di media sosial dengan hal-hal kritis dan baik.
"Karena nggak mungkin sekarang anak-anak nggak TikTokan, nggak mungkin nggak instagraman, nonton youtube dan lain-lain. Maka membiasakan anak atau generasi dengan menonton hal-hal baik dan kritis sesuai dengan batasan umurnya, tentu itu menjadi solusi saat ini. Jadi ayo kita banjiri medsos dengan hal-hal positif," lanjutnya.
Selain itu, mengganti aktivitas bermain media sosial yang sama asiknya dengan hal tersebut.
"Seperti saat pandemi lalu, kita semua hanya pegang handphone, termasuk saya dan anak-anak. Namun agar tidak terlalu larut, saya mengajak anak-anak untuk menanam di pekarangan, memelihara ikan. Agar anak-anak juga tahu, bahwa kegiatan lain itu juga asik, penting dan memberi manfaat. Maka jangan serta merta melarang anak bermain handphone, tapi kita ganti dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat," terangnya.
Selain itu, cara berpikir yang tertutup saat ini membuat generasi justru jauh mengalami kemunduran, bahkan jauh lebih mundur dari para raja di zaman kerajaan-kerajaan Jawa tempo dulu.
"Kalau di leluhur Jawa, ada namanya Kapitayan. Pada saat itu, Hindu datang, diterima, Budha datang, diterima Islam datang diterima, semua diterima dan berjalan beriringan dengan baik," sambungnya.