Oleh: Apriliyani Harahap
WACANA yang sering kali saya baca di media online mengenai ke-Indonesiaan tak lain adalah toleransi. Ya, toleransi merupakan pondasi bertahannya negara kepulauan ini. Secara geografis, Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke. Terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, dan budaya yang terbagi atas 34 provinsi. Keragamanan ini disatukan oleh semboyan “Bhineka Tunggal Ika.”
Saya masih ingat pertama kali mendapat pelajaran ke-Indonesiaan di bangku formal tingkat Sekolah Dasar (SD), semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ selalu diterangkan dan dijelaskan secara berulang oleh guru saya. Tujuannya tentu menanamkan nilai-nilai kebersamaan, saling berbagi dan saling menghormati perbedaan sejak usia dini.
Semasa kecil tentu belum memahami betul apa itu toleransi, dan apa pentingnya toleransi. Setiap hari anak-anak hanya menghabiskan waktunya dengan bermain. Akan tetapi, mereka mengerti bahwa tindakan pilih-pilih kawan dan mengejek tidak boleh dilakukan, karena berlawanan dengan nilai-nilai yang diterangkan oleh guru di sekolah.
Tentu hanya sebatas itulah yang dipahami anak-anak di usia dini. Seiring bertambahnya usia, pemaknaan terhadap toleransi dalam kehidupan sehari-hari semakin mendalam. Setiap tindakan dan sikap niscaya didasari oleh sikap toleransi. Relasi sosial dengan teman, atasan, atapun kekasih tidak menutup kemungkinan berasal dari suku ataupun agama yang berbeda. Demikian itu bersikap toleransi adalah pilihan terbaik demi keharmonisan terus tetap terjaga.
Sikap toleransi yang telah diterapkan oleh generasi awal hingga generasi millennial dapat dikatakan berhasil dalam mempertahankan keharmonisan bangsa Indonesia. Adapun desas-desus atau ramalan pecahnya bangsa Indonesia pasca Orde Baru, kenyataannya tidak demikian. Bahkan keberagaman budaya menjadi kekuatan bangsa.
Melalui keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia, menjadikannya sebagai daya tarik bagi mancanegara untuk melakukan pariwisata dan kajian ke- Indonesiaan.
Tentu saja kita mengenal beberapa kota wisata populer di Indonesia yang digandrungi wisatawan asing, diantaranya Bali, Bandung, Manado, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ohya. untuk kawasan DIY ini sangat istimewa karena menjadi satu-satunya provinsi yang menganut sistem kerajaan dalam praktik politiknya.
Tak hanya pariwisata, warisan kebudayaan pun banyak menarik perhatian mancanegara di kancah International, salah satunya seni tari traditional seperti, tari Ratoh Jaroe yang berasal dari Aceh dan mendapat penghargaan The Best Performance Award pada International Folk Festival 2017 di Yunani, tari Kecak yang berasal dari Bali, tari Jaipong yang berasal dari Jawa Barat, dan tari traditional lainnya yang merefleksikan nilai dari masing-masing daerah.
Bangsa kita juga mewarisi bahasa yang berbeda dari setiap suku dan daerah. Keragaman budaya adalah bentuk kekayaan bangsa dan identitas bangsa Indonesia. Orang modern menyebutnya sebagai bangsa plural.
‘Pluralitas’ demikianlah fakta sosial bahwa bangsa ini plural dengan keragaman etnis, suku, bahasa dan kebudayaannya.
Realitas pluralitas ini tidak mengartikan bahwa pluralisme berjaya di negri kepulauan ini. Sikap toleransi yang ditanamkan sejak nenek moyang belum cukup untuk mencetak generasi yang pluraslis.
Tentu masih banyak perjuangan dan waktu yang dibutuhkan demi mencapai generasi millenial yang plural. Harapannya bangsa kita semakin kuat. Beriringan dengan nilai-nilai yang tertaut dalam semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ , yang berartikan ‘ Berbeda Tetap Satu Jua’.
Dengan semangat kebhinnekaan yang ada dalam ideologi Pancasila, kita sejatinya memiliki jembatan menuju generasi milineal yang pluralis. Melalui nilai-nilai Pancasila yang menyatukan perbedaan dari Sabang hingga Merauke.
Dalam rangka merealisasikan tujuan tersebut, dibutuhkan peran pemerintah untuk mencetak bangsa yang pluraslisme. Bangsa ini membutuhkan wawasan terkini untuk mengetahui adanya kebenaran dari setiap perbedaan yang ada di negeri ini.