Demo Tolak HGU PT DDP, Kantor Bupati Digeruduk Massa

Kamis 14-07-2022,09:53 WIB
Reporter : Wahyudi

MUKOMUKO RU.ID - Puluhan warga dari Desa Air Berau Kecamatan Pondok Suguh dan warga dari desa penyangga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) menggelar aksi demonstarsi ke kantor Bupati Mukomuko, Rabu (13/7) pagi kemarin. 

Aksi yang diikuti lebih dari 50 orang dan dikawal ketat aparat Kepolisian, TNI dan Pol PP itu, untuk menyampaikan tuntutan penolakan lahan HGU PT DDP Air Berau Estate Nomor 02.

Sayangnya, pada saat massa tiba di kantor bupati, Bupati Mukomuko, H Sapuan tidak berada di tempat. Informasinya, bupati sedang di Jakarta untuk menghadiri pertemuan asosiasi kabupaten penghasil sawit seluruh Indonesia. Massa disambut dan ditemui oleh Pj Sekda Mukomuko, Drs. Yandaryat, Ketua DPRD Mukomuko, Ali Saftaini, SE, Asisten II, Bustari Maller, SH, M.Hum dan para pejabat eselon II yang berwenang terhadap persolan tuntutan massa. 

Ketua KMS, Dedi Hartono dalam orasinya menegaskan, penolakan perpanjangan HGU Nomor 02 atas nama PT Daria Dharma Pratama (DDP) Air Berau Estate Reforma agraria, merupakan salah satu program prioritas nasional nawa cita Jokowi dengan berpedoman sebelumnya pada UU Pokok Agraria tahun 1960, secara fundamental memberikan pengakuan hak atas tanah dan pemanfaatannya untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Konflik agraria dan sengketa tanah menjadi salah satu gesekan yang mengganggu efektivitas kehidupan pertanian dengan banyaknya petani yang kehilangan lahan untuk bercocok tanam dan semakin hari masyarakat semakin bertambah dan lahan semakin berkurang karena dikuasai oleh segelintir orang ataupun korporasi yang mengakibatkan bertambahnya penduduk miskin.

Oleh karena itu, Reforma Agraria hadir untuk mempersempit ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya akan memberikan harapan baru untuk perubahan dan pemerataan sosial ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Syarat redistribusi tanah objek reforma agraria meliputi hak guna usaha HGU yang sudah berakhir, tanah terlantar dan kawasan hutan, sedangkan Izin HGU PT DDP ABE yang dikeluarkan 11-11-1986 dan berakhir pada 31-12-2021, ditambah lagi PT DDP diduga masih menggarap lahan kawasan hutan yang seharusnya sudah dihutankan kembali tapi di lapangan, masih ditemukan kawasan hutan yang diklaim HGU. 

Sedangkan kondisi hari ini, sambung Dedi, masyarakat Desa Air Berau dan desa penyangga, mulai menggarap lahan yang habis HGU itu, tetapi lahan garapan masyarakat mau diambil alih oleh perusahaan. Oleh karena itu, koalisi masayarakat sipil Desa Air Berau mendesak pemerintah untuk mengembalikan lahan masyarakat dan menolak perpanjangan izin HGU PT DDP ABE.

Persoalan agraria yang dialami masyarakat Desa Air Berau dan desa penyangga sudah lama dan berlarut-larut dimulai sebelum adanya HGU PT DDP ABE tahun 1984. Negara dalam hal ini direktorat agraria, sudah menjanjikan kepada masyarakat akan dibangunkan plasma dengan pola PIR.

Lahan leluhur masyarakat yang saat itu hanya diganti tanaman tumbuhnya karena janji Negara saat itu, akan dibangunkan plasma untuk masyarakat hingga saat ini, tak kunjung terealisasi. Berita acara rapat masyarakat Desa Air Berau dan desa penyangga, sebelum berakhirnya masa HGU PT DDP ABE tanggal 13 Februari 2016 dan telah disepakati bahwa seluruh HGU PT DDP ABE yang habis masa izinnya, wajib dikembalikan kepada masyarakat.

Dalam hal penyelesaian konflik dengan PT DDP ABE, kata dia, Bupati Mukomuko, Sapuan, sudah mengeluarkan SK tim GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria) dan DPRD Mukomuko juga membentuk pansus terkait polemik HGU PT DDP ABE. Sayangnya, secara serius masyarakat belum dilibatkan bahkan masyarakat sudah berulangkali bersurat dan yang terakhir surat permohonan audiensi tapi belum ada respon.

“Harapan kami, jika pemerintah benar-benar ingin menyelesaikan konflik ini secara menyeluruh maka libatkan kami dalam tim GTRA dan Pansus DPRD yang sudah dibentuk, supaya tidak timbul masalah dikemudian hari,” desak Dedi. 

Selain konflik agraria yang terjadi berkepanjangan, lanjut dia, muncul lagi masalah yang lebih besar yang dihadapi petani sawit secara umum yaitu penetapan barang Ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, ditambah lagi ada dana pungutan ekpor (PE) CPO dan bea keluar (BK). Sambung Dedi dalam orasinya, katanya, kebijakan ini untuk kesejahteraan petani dan untuk menstabilkan harga TBS petani. Tapi faktanya, justru menambah anjloknya harga TBS petani dan dana hasil pungutan PE dan BK ini lebih banyak dinikmati oleh konglomerat.

Berdasarkan hal tersebut, pihkanya menyatakan 13 tuntutan yaitu mendesak Presiden agar segera menormalisasi harga TBS serta cabut DMO-DPO, FO dan pungutan non pajak. Meminta kepada pemerintah pusat agar tidak membenkan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut retibusi TBS dan petani, karena akan semakin menambah beban petani sawit. Mendesak bupati membebankan sanksi kepada PMKS yang tidak mengikuti harga ketetapan Disbun provinsi. Cabut izin pabri sawit tanpa kemitraan. Tolak HGU tanpa plasma 20 persen. Tangkap dan tindak tegas perusahaan yang merambah kawasan hutan. Tanah untuk rakyat bukan untuk para cukong. Stop kriminalisasi terhadap masyarakat yang terlibat dalam konflik agraria. Menuntut janji yang sudah dibuat Pemda Bengkulu Utara dan PT. DDP untuk membangun plasma dengan pola PIR. Menuntut PT. DDP ABE untuk membayar kompensasi bagi masyarakat untuk menggantikan pola PIR yang tidak direalisasi dan tahun 1984 s/d 2022 (35 Tahun). 

“Setelah HGU PT DDP berakhir tahun 2021, perusahaan tidak dizinkan memperpanjang lagi. Seluruh lahan HGU PT DDP yang sudah habis izin masa berlakunya, dikembalikan pada masyarakat. Libatkan masyarakat dalam pansus DPRD kabupaten Mukomuko terkait polemik HGU PT.DDP ABE dan tim GTRA Kabupaten Mukomuko,” ujarnya.

Masssa mengaku kecewa dengan bupati Sapuan lantaran pada saat aksi, bupati tidak ada di tempat. hingga akhirnya massa pun membentangkan spanduk bertuliskan

Tags :
Kategori :

Terkait